Pengalaman Perdana Ikuti Pemilu di Inggris, WNI Ini Akui Sempat Tak Terdaftar di DPT
Senin, 12 Februari 2024 | 23:00 WIB
Widhy Roviantika (berkerudung hitam, kemeja kotak-kotak, berpose 5 jari) bersama teman-temannya seusai mencoblos di TPSLN London, Inggris, Ahad (11/2/2024). (Foto: dok. PCINU Inggris/ Widhy Roviantika)
Jakarta, NU Online
Pemilihan umum (pemilu) 2024 di luar negeri menjadi momentum penting bagi warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di berbagai belahan dunia untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi Indonesia.
Dengan beragam tantangan dan pengalaman yang berbeda, pemilu di luar negeri menawarkan perspektif yang menarik tentang bagaimana WNI memilih, berinteraksi dengan proses demokrasi, dan menjalin koneksi dengan tanah air, meskipun dari jarak yang jauh.
Pengalaman ini dirasakan oleh Widhy Roviantika, seorang Mahasiswi Master of Business Administration, Lancaster University yang kini tinggal di Lancaster, Lancashire, Inggris. Pemilu 2024 merupakan pemilu perdananya yang ia ikuti di luar negeri. Ia memilih datang langsung ke tempat pemungutan suara (TPS) di Manchester untuk menggunakan hak suaranya.
“Saya tidak mau melewatkan pengalaman ini. Perjalanan ini dimulai dengan sebelum keberangkatan untuk studi, sekitar akhir September 2023. Saya sudah mengurus pindah memilih agar mendapat daftar pemilih tetap (DPT) di UK,” jelas Widhy kepada NU Online, Senin (12/2/2023).
Meski begitu, ia mengaku sempat tidak terdaftar sebagai DPT. Namun, berkat bantuan PPLN London, kendala tersebut dapat diatasi. Ia berhasil tercatat dalam 300 nama DPT dan menggunakan hak pilihnya pada Ahad (11/2/2024) kemarin.
“Setelah di UK, cukup sedih karena sempat tidak dapat terdaftar sebagai DPT. Alhamdulillah setelah melaporkan, meminta bantuan ke PPLN London dan menunggu, saya mendapat DPT setelah itu agar mendapat prioritas karena dengar surat suaranya terbatas,” ujarnya.
“Sabtu pagi sudah pergi ke Manch dan menginap agar Minggunya dapat tiba pagi dan mendapat antrean DPT awal. Alhamdulillah saya dapat antrean nomor 15 dan sekitar pukul 14.30 setelah DPT dilayani semua, saya mendapat surat suara dan kesempatan memilih,” imbuhnya.
Berbagai pertimbangan ia lakukan sebelum memilih paslon, termasuk rekam jejak kandidat dan partai pendukung, serta pola kampanye. Widhy menyatakan, ia memilih kandidat yang dianggap menjaga harmoni, mengingat polarisasi yang terjadi pada pemilu sebelumnya.
“Pertimbangannya track record. Kebetulan saya bekerja di sektor yang dekat dengan kebijakan pemerintah sehingga cukup merasa mengenal dan mengetahui rekam jejak masing-masing paslon. Track record dari partai pendukung, beberapa orang-orang behind the (di belakang) paslon, dan dari cara mereka berkampanye. Saya cukup sedih dan trauma dengan polarisasi akibat pemilu, saya lebih suka paslon yang menjaga harmoni,” paparnya.
Ia menilai, perbedaan utama antara pemilu di luar negeri dan dalam negeri adalah jumlah surat suara yang lebih sedikit. Namun, pemilih mencatat bahwa keteraturan dan keramahan petugas KPPS mirip dengan suasana pemilu di Indonesia.
“Kemarin kami di UK hanya bisa memilih presiden dan DPR RI dengan Dapil II Jakarta. Selebihnya saya masih merasakan keteraturan dan keramahan KPPS seperti Indonesia banget,” ucap Anggota PCI Fatayat NU Inggris itu.
Widhy juga menyerukan kepada WNI di luar negeri untuk tetap berpartisipasi dalam pemilu, mengingat bahwa suara mereka adalah doa. Ia juga menekankan pentingnya memilih yang terbaik, menerima hasil dengan lapang dada, dan terus mengritisi dengan baik jika diperlukan sebagai bentuk optimisme terhadap takdir.
“Suara kita adalah doa kita, kita tahu kita berusaha memilih yang terbaik, apa pun hasilnya siapa pun presidennya, tetap saudara kita satu Indonesia. Kita terima, kita ikuti, dan kita kritisi dengan baik jika perlu. Kalau tidak berpartisipasi karena kita pesimis artinya kita lose hope to our God. Maka, memilih ada doa dalam tindakan nyata dan menerima siapa pun yang menang adalah bentuk optimisnya kita terhadap takdir Allah,” pungkasnya.