PM Belanda Minta Maaf atas Kejahatan Masa Lalu, Begini Mula Penjajahan Itu
Rabu, 21 Desember 2022 | 20:30 WIB
Para kuli memilah daun tembakau di gudang tembakau di Deli Medan, yang diawasi oleh mandor Belanda, 1897. (Foto: nationaalarchief)
Jakarta, NU Online
Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte menyampaikan permohonan maaf atas tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negaranya pada masa silam di negeri-negeri koloninya, termasuk Indonesia. Kejahatan kemanusiaan dengan perlakuan perbudakan itu berlangsung selama berabad-abad, sejak mereka mendirikan negara Hindia Belanda.
"Kalau ditanya sejak kapan? sejak berdirinya negara Hindia Belanda dan ini kira-kira resmi atau sudah mulai setelah berdiri tahun 1820-an pasca-inggris hengkang dari Nusantara," kata Johan Wahyudi, sejarahwan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kepada NU Online pada Selasa (20/12/2022).
"Itu kan kerajaan Belanda mengambil alih sisa-sisa daerah yang dikuasai oleh VOC yang pada tahun 1799 sudah bubar," lanjut Johan.
Perbudakan itu berlangsung di beberapa wilayah, seperti di Bali dan Indonesia timur. "Masalah perbudakan ini memang menjadi hal yang serius," ujarnya.
Pihak Belanda ini pada mulanya memperlakukan koloninya dengan sistem kontrak. Mereka memperbarui kontrak-kontrak dengan para raja-raja di Nusantara, misalnya kontrak dengan Sultan Yogyakarta, kontrak dengan Sultan Surakarta, Sultan Cirebon.
"Di dalam kontrak-kontrak itu, banyak klausul yang disetujui, utamanya maksud dari kuasa Belanda itu di atas raja-raja lokal sehingga mereka lebih leluasa untuk mengatur kondisi sosial dan politik," katanya.
Johan menjelaskan bahwa kontrak ini sifatnya temporal dan diperbarui dalam periode-periode tertentu. "Ini terjadi juga di Sumatra, Makassar, dan wilayah-wilayah lain yang merupakan kantong koloni wilayah Belanda," ujarnya.
Baca Juga
Manusia dan Penjajahan Hawa Nafsu
Bahkan jauh sebelum negeri Hindia Belanda itu berdiri, orang-orang Belanda juga sudah bertindak jahat ke bangsa Indonesia saat itu. Sekitar akhir abad 16, mereka sudah bertindak semena-mena.
"Misalnya ketika Cornelis de Houtman ada di Aceh, ketika dia dalam rangka mencari sumber rempah-rempah di Nusantara itu di Aceh dia membuat onar dengan menantang warga setempat," terang doktor dari Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu.
Kemudian, ia bertindak semena-mena termasuk saat ia di atas kapal oleh orang Aceh. Bahkan adiknya atau kerabatnya Frederick de Houtman itu sampai ditahan Kesultanan Aceh.
"Memang sejak awal orang Belanda ini sompral, senang sekali berbuat ulah. Ini didasari oleh keyakinan kepercayaan bahwa orang Eropa berperadaban, sedangkan orang Nusantara tidak beradab," terangnya.
Kejahatan itu juga menaruh persepsi terhadap orang Indonesia bahwa Belanda itu Negeri penjajah dan kekayaan-kekayaan yang dibangun untuk memodernisasi negeri tersebut berasal dari Indonesia. "Jadi kebencian itu akibat dari masa lalu itu, terjadi praktik penjajahan itu berurat akar di Indonesia," katanya.
Pola pengajaran sejarah di Indonesia juga selalu menitikberatkan Belanda sebagai negeri antagonis, penjajah. Ini membuat atau berkontribusi dalam pembodohan secara sistemik pada masyarakat Indonesia.
Belum lagi pemberlakuan kerja paksa yang terjadi setelah Perang Jawa, perang melawan pasukan Diponegoro, tahun 1830. Di tahun itu, Belanda kesulitan ekonomi karena biayanya habis untuk biaya perang tersebut.
"Salah satu solusi yang ditempuh adalah menjalin kontrak dengan para penguasa-penguasa Jawa untuk melanggengkan sistem sewa tanah untuk terjadi praktik kerja paksa," katanya.
Perlu diketahui, sebelum sewa tanah yang ditentukan Belanda itu, petani-petani Jawa pada umumnya bekerja untuk para ningrat bangsawan Jawa dengan konsekuensi kerja yang relatif sesuai. Setelah diatur pemerintah Hindia Belanda, terjadi penyesuaian yang selanjutnya justru memangkas kesejahteraan orang-orang petani.
"Jadi petani itu diberi kesempatan untuk mengolah (dan) mengelola tanah, tetapi dengan upah yang tidak sepadan," kata Johan.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin