Adab Menantu Nabi saat Diskusikan Urusan Kesehatan Pasutri
Jumat, 13 Januari 2023 | 11:00 WIB
Menantu Nabi, Sayyidina Ali, menjaga adab di hadapan Nabi Muhammad saw ketika membahas kesehatan pasutri. (Ilustrasi: NU Online/freepik).
Sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah merupakan sosok sahabat nabi yang santun, berilmu tinggi dan termasuk ahlul bait Rasulullah. Selain menjadi sahabat, Beliau juga menantu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salllam karena menjadi istri dari Sayyidah Fatimah, putri Rasulullah. Berkat kesantunannya dalam berumah tangga, kelak banyak ilmu yang terbuka dengan perantaraan Beliau.
Ada contoh keteladanan yang bisa diambil dari Sahabat Ali karena kedekatan hubungannya dengan Rasulullah, terutama bagi pasangan suami istri (pasutri) muslim. Meskipun sebagai sahabat dekat Rasulullah, untuk urusan rumah tangganya dengan Sayyidah Fatimah, sahabat Ali memandang Rasulullah sebagai mertua yang berarti seperti kedua orang tuanya sendiri.
Ajaran Islam memang menempatkan status mertua dengan spesial. Setelah terjadi pernikahan, maka status mertua menjadi istimewa untuk dihormati sebagaimana orang tua sendiri. Saat ini, seiring dengan pergeseran nilai-nilai sosial akibat gerusan zaman, banyak persoalan rumah tangga yang informasinya tersebar keluar dari lingkungan internal pasutri hingga diceritakan kepada mertua.
Padahal generasi Islam pada masa sahabat telah memberikan teladan tentang menjaga kerahasiaan urusan khusus suami-istri, seperti hubungan seksual dan yang terkait dengan itu, bahkan terhadap mertua sendiri.
Sebagai suami dari Sayyidah Fatimah, Sahabat Ali pernah merasa malu untuk menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan suami-istrinya kepada Rasulullah. Mengenai hal ihwal kehidupan rumah tangga yang khusus berhubungan dengan keintiman suami-istri, sahabat Ali tidak bertanya secara langsung kepada Nabi tetapi menggunakan perantara.
Salah satu contoh yang terkenal adalah ketika sahabat Ali merasa malu menanyakan perihal keluarnya madzi. Madzi adalah cairan normal yang dikeluarkan oleh laki-laki ketika ada syahwat. Laki-laki sehat yang secara biologis berfungsi sempurna seperti sahabat Ali ketika sudah beristri tentu dapat mengalami keluar madzi. Namun, ketika kejadian tersebut sering dialami oleh sahabat Ali, Beliau merasa perlu untuk menanyakannya kepada Rasulullah dengan cara khusus.
Dalam riwayat yang biasanya dibahas untuk masalah bersuci, ada hadits tentang madzi yang sebenarnya muncul dari pertanyaan sahabat Ali, tetapi ditanyakan oleh orang lain kepada Rasulullah. Di dalam hadits Imam Bukhari dan Muslim, sahabat Ali mengisahkan dirinya sendiri sebagai berikut:
“Aku adalah seorang lelaki yang sering mengeluarkan madzi. Aku malu untuk menanyakannya kepada nabi karena kedekatanku kepada putrinya, maka kemudian aku menyuruh orang lain untuk bertanya, dan dia berkata: Nabi (menyuruh) membasuh zakarnya dan berwudhu.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits tersebut, ada rasa hormat kepada mertua yang membuat sahabat Ali merasa malu mengungkapkan urusan keluarnya madzi kepada Nabi. Padahal dalam urusan suami-istri, itu adalah hal normal yang menandakan sehatnya suami ketika menjalin hubungan antara keduanya. Rasa malu itu disebabkan karena yang menjadi istrinya adalah Sayyidah Fatimah, putri Rasulullah.
Namun, karena hal penting yang akan ditanyakan adalah berkaitan dengan ilmu bersuci untuk menunjang beribadah, maka sahabat Ali menggunakan strategi khusus. Agar tidak diketahui identitasnya sebagai orang yang bertanya, Beliau meminta bantuan kepada orang lain yang terpercaya untuk menanyakannya kepada Rasulullah. Orang lain yang dititipi pertanyaan itu pun tentu sudah dipertimbangkan dengan matang oleh sahabat Ali agar menjamin semua aspek kerahasiaan.
Para sahabat lain yang memiliki pertanyaan serupa bisa saja juga merasa malu untuk menanyakannya kepada Nabi. Padahal, mereka berstatus sahabat yang bukan menantu Nabi. Bila sahabat yang bukan menantu enggan menanyakannya secara terbuka, sebenarnya bisa saja sahabat Ali sebagai menantu justru berkesempatan menanyakannya secara langsung kepada Nabi secara personal.
Namun, ternyata kaidah etika mendahului ilmu telah diterapkan oleh sahabat Ali dengan jitu. Adab seorang menantu justru harus merahasiakan urusan khusus dalam hubungan dengan pasangannya kepada mertua maupun orang tua. Oleh karena itu, strategi bertanya dari sahabat Ali sekaligus menjadi teladan adab selain membuka pintu ilmu bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rumah tangga sahabat Ali dengan Sayyidah Fatimah yang penuh berkah tidak lepas dari adab dan ilmu. Oleh karena itu, rumah tangga keduanya menjadi rujukan bagi orang lain sejak masa sahabat hingga kini. Ilmu yang dibuka oleh sahabat Ali terbukti sangat bermanfaat untuk kehidupan kaum muslimin sehingga beliau diakui sebagai pintunya ilmu.
Tidak hanya masalah yang berkaitan dengan kesantunan berumah tangga, ilmu sahabat Ali juga memberikan solusi bagi kesehatan pasutri. Pernah suatu ketika Beliau memberikan saran untuk kesehatan suami yang sudah beristri agar sembuh dari penyakit. Sahabat Ali membagikan resep pengobatan menggunakan wasilah pertolongan berupa komponen mahar istri dari suami yang sedang sakit tersebut. Bila direnungkan, saran Beliau ini sangat sarat dengan ajaran kesantunan.
Dalam tafsir Al-Qurthubi yang membahas tentang mahar di Surat An-Nisa ayat 4, diriwayatkan:
“Jika salah seorang di antaramu mengalami penyakit, lalu ia meminta satu dirham dari maharnya kepada istrinya, kemudian ia membelikannya madu, lalu ia meminumnya dengan air hujan, maka Allah ‘Azza wa jalla mengumpulkan yang sedap lagi baik akibatnya serta air yang berkah untuknya.” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, juz VI, Penerbit Ar-Risalah, Beirut, 2006: halaman 50).
Formula kombinasi resep untuk pengobatan yang diajarkan oleh sahabat Ali di atas sangatlah lengkap. Dari sisi farmakologi, madu dan air hujan mengandung zat berkhasiat untuk berbagai penyakit. Madu mengandung nutrisi lengkap yang sangat dibutuhkan oleh orang yang sedang sakit, sedangkan air hujan mengandung hidrogen peroksida atau H2O2 alami dalam jumlah sangat kecil yang dapat dikonsumsi dan baik untuk tubuh. Satu hal yang penting, formula ini memerlukan kesantunan suami untuk mendapatkan uang dari istri.
Hal yang menarik adalah adanya unsur spiritual dalam pengobatan yang diwujudkan melalui uang dari mahar istri untuk membeli madu. Suami bisa meminta sejumlah uang dengan santun kepada istri. Apabila seorang istri dengan cinta kasihnya memberikan sejumlah uang kepada suaminya yang sedang sakit dan diniatkan itu dari maharnya, maka hal itu insya Allah akan menimbulkan efek menyehatkan suami. Keberkahan dari Allah bisa berwujud kesehatan atau kesembuhan penyakit melalui wasilah apapun. Namun, wasilah dari istri inilah yang menurut sahabat Ali sangat mujarab dalam penyembuhan.
Melalui teladan yang diberikan dari sahabat Ali, selayaknya kaum muslimin menjadikan urusan rumah tangganya sebagai privasi. Apalagi yang berkaitan dengan rahasia keintiman pasutri, tidak layak dibicarakan kepada orang lain di luar keduanya.
Pasutri dimungkinkan untuk bersepakat menceritakan hal khusus itu kepada pihak yang berkompeten seperti dokter atau ulama dalam rangka mencari solusi. Selain itu, usaha untuk mencapai kesehatan pasutri dapat dicapai dengan saling mendukung apabila salah satu dari keduanya ada yang sakit. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang farmasi