Lebaran identik dengan makanan bersantan. Olahan masakan berkuah tidak lengkap gurihnya tanpa saripati cairan dari buah kelapa yang satu ini. Santan dari kelapa murni selalu hadir menemani opor ayam atau makanan lain yang dihidangkan oleh sebagian kaum muslimin di hari raya. Bagaimana cara mengelola makanan bersantan agar tetap menyehatkan? Apakah makanan bersantan yang berkali-kali dihangatkan beresiko untuk kesehatan?
Bagi sebagian orang, membatasi konsumsi santan merupakan suatu keharusan. Orang yang sedang menjalani diet karena penyakit tertentu memang selayaknya tidak terlalu banyak mengonsumsi makanan bersantan. Orang-orang yang sedang mengatur jumlah kalori dalam makanannya juga hendaknya memperhatikan makanan bersantan. Namun, sebenarnya santan masih boleh dikonsumsi dengan jumlah tertentu karena termasuk sumber lemak yang sehat.
Dalam Kitab Thibbun Nabawi karya Al-Hafiz Adz-Dzahabi, kelapa disebut sebagai Narjil atau Juz al-Hindi. Khasiatnya sangat baik untuk kesehatan sebagai berikut:
“Sifat kelapa adalah panas dan basah. Jenis yang terbaik adalah yang (daging buahnya) berwarna putih karena dapat meningkatkan potensi seksual dan menghilangkan sakit pada punggung.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, Dar Ihyaul Ulum, Beirut, 1990: halaman 197)
Santan kelapa dan berwarna putih mengandung asam lemak yang baik untuk tubuh manusia seperti asam urat. Protein, vitamin dan mineral lainnya juga melengkapi kandungan nutrisi dari santan kelapa. Selain itu, santan menjadi sumber kalori yang tinggi sehingga sangat baik untuk pembentukan energi. Hal ini penting untuk orang yang baru saja berpuasa Ramadhan satu bulan penuh sehingga masakan bersantan dapat menjadi pilihan di hari raya Idul Fitri.
Anak-anak atau remaja mungkin menjadikan momen lebaran dan hari-hari berikutnya untuk menikmati berbagai sajian termasuk makanan bersantan. Hal ini tidak menjadi masalah karena kebutuhan kalori dan nutrisi anak maupun remaja memungkinkan mereka untuk mengonsumsi makanan bersantan dengan frekuensi yang lebih sering. Namun, pola konsumsi makanan bersantan pada orang dewasa dan usia lanjut tentu berbeda.
Bagi orang dewasa maupun lansia yang sudah beresiko mengalami gangguan kesehatan, makanan bersantan masih dapat dinikmati seminggu sekali. Misalnya setelah menikmati opor ayam di hari lebaran, diet di hari berikutnya adalah makanan yang tidak bersantan. Variasi menu dapat diatur sehingga hari-hari selanjutnya diperbanyak konsumsi sayur dan buah.
Hari raya Idul Fitri sebenarnya merupakan rangkaian berbuka puasa yang waktunya terbentang satu hari setelah Ramadhan usai. Di satu hari inilah makanan dapat dinikmati kaum muslimin dan justru diharamkan untuk berpuasa. Namun, setelah hari raya dianjurkan kembali untuk puasa sunnah Bulan Syawal selama 6 hari. Konsumsi santan dengan frekuensi satu minggu sekali sangat relevan apabila pola puasa Syawal dilaksanakan di hari kedua hingga ketujuh pada awal Bulan Syawal.
Selanjutnya di hari ke-8 Syawal, ada tradisi lebaran ketupat yang menghadirkan makanan bersantan kembali. Secara tidak langsung, sebenarnya tradisi puasa 6 hari berturut-turut di awal Bulan Syawal sangat ideal sebagai penyesuaian orang yang baru berpuasa Ramadhan satu bulan. Kerja dari pencernaan akan kembali secara bertahap dan tidak kaget sehingga secara umum lebih menyehatkan.
Apabila pola puasa Syawal yang ideal sulit diterapkan, maka selama masih Bulan Syawal puasa sunnah dapat dilaksanakan kapanpun. Mungkin di hari-hari awal pada Bulan Syawal, konsumsi makanan bersantan sulit untuk dihindarkan. Oleh karena itu, kemauan kuatlah yang akan mengendalikan pola konsumsi agar tidak berlebihan dalam menikmati sajian berkuah santan. Apabila terpaksa, konsumsi makanan bersantan hingga 2 kali seminggu masih bisa dianggap aman saat momen lebaran.
Sebuah penelitian di Indonesia mengungkapkan bahwa konsumsi santan yang ideal untuk orang dewasa yang memiliki resiko penyakit kardiovaskular adalah pola konsumsi yang jarang, yaitu 1-2 kali seminggu. Apabila dikonsumsi dalam frekuensi yang lebih sering yaitu 3 kali seminggu atau lebih ternyata dapat meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular sebesar 1,3 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang jarang mengonsumsi santan (Tuminah dan Sihombing, 2015, Frequent Coconut Milk Intake Increases the Risk of Vascular Disease in adults, Universa Medicina, Vol.34 No.2: halaman 149-158).
Bagi orang yang memiliki kesadaran tinggi untuk membatasi konsumsi santan bisa memanfaatkan teknologi penyimpanan makanan seperti kulkas. Santan yang dimiliki dalam jumlah banyak tidak harus langsung dimasak sekaligus ketika lebaran. Santan dapat dikemas dalam beberapa bagian yang lebih kecil lalu disimpan di freezer. Dengan demikian, ketika hendak memasak barulah santan dikeluarkan untuk diolah.
Cara membatasi konsumsi santan sebagaimana di atas sangat bermanfaat untuk kesehatan. Memang terlihat kurang praktis karena jumlah yang dimasak sedikit. Namun, justru itu akan mengurangi makanan yang tidak habis dikonsumsi dalam sehari. Selain menghindari banyaknya masakan bersantan yang harus dihangatkan karena tidak habis dalam sehari, orang juga akan mudah mengatur menu bersantan untuk dinikmati seminggu sekali.
Apabila masakan bersantan dihangatkan berkali-kali, akibatnya kurang baik untuk kesehatan. Kandungan minyak atau lemak yang terpapar panas berulang dapat berubah menjadi zat lain yang membahayakan tubuh manusia. Walhasil, santan yang semula adalah sumber lemak nabati yang sehat akan berubah sifat menjadi merugikan bila dihangatkan berkali-kali.
Dalam tradisi di berbagai negara termasuk Indonesia, masakan bersantan sering dibumbui dengan rempah-rempah. Kunyit, bawang merah, bawang putih, serai, dan jahe merupakan bumbu yang kerap dikombinasikan dalam kuah santan. Selain menjadikan aroma dan warna masakan menjadi lebih menarik, tersimpan manfaat besar dari bumbu itu untuk mengawetkan makanan secara alami dan menambah nilai nutrisi.
Sebenarnya, nilai kearifan lokal yang muncul dari budaya kombinasi bumbu rempah juga itu sangat menyehatkan. Kandungan bermanfaat dari kunyit maupun bawang dapat menangkal naiknya kolesterol yang mungkin muncul dari masakan bersantan yang dikonsumsi dalam jumlah banyak dan dikombinasikan dengan daging atau lemak hewani. Namun, apabila masakan bersantan dan berbumbu itu berkali-kali dihangatkan tentu akan mengurangi efek baik dari bumbu rempah di dalamnya.
Di sekitar momen lebaran, tentu menghangatkan masakan bersantan tidak baik bila dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu berhari-hari. Oleh karena itu, lebih baik mengatur pola konsumsi dengan makanan bersantan yang baru dibuat daripada mengonsumsi makanan bersantan yang sudah dihangatkan. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, pegiat farmasi dan anggota MUI Cilacap.