Daerah

Lebaran Ketupat dan Makna Filosofinya

Senin, 9 Mei 2022 | 05:00 WIB

Cirebon, NU Online

Warga Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, terlihat sibuk mempersiapkan Lebaran Ketupat atau akrab disebut Bakda Kupat. Sejak kemarin, masyarakat terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Setelah itu, ketupat diisi dengan beras lalu dimasak. 


Sejarah Lebaran Ketupat ini berawal dari Kanjeng Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan kepada masyarakat Jawa. Lebaran Ketupat dirayakan pada satu minggu setelah Idul Fitri, yakni pada 8 Syawal setelah melaksanakan puasa sunnah selama enam hari. Tahun ini, Lebaran Ketupat jatuh pada Senin (9/5/2022). 


Dilansir dari Situsweb Buntet Pesantren, Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren Subchi A Fikri menyebutkan bahwa ketupat Lebaran bukanlah sekadar menjadi makanan khas Hari Raya Lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. 


Disebutkan, Ketupat atau Kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Ngaku Papat. Ngaku Lepat bermakna mengakui kesalahan dan Ngaku Papat memiliki arti empat tindakan dalam perayaan Lebaran. 


Pertama, Lebaran. Ini bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar. Kedua, Luberan. Istilah ini berarti meluber atau melimpah yang menjadi simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang Hari Raya Idul Fitri, selain menjadi ritual wajib bagi Muslim, juga sebagai wujud kepedulian kepada sesama manusia. 


Ketiga, Leburan. Kata ini memiliki makna habis dan melebur. Maksudnya, pada momentum Lebaran, dosa dan kesahalan akan melebur dan habis karena setiap Muslim dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain. 


Keempat, Laburan. Istilah ini berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air dan pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain. 


Selain itu, Subchi menyebutkan beberapa makna filosofis dari Ketupat. Ia menyebut, Ketupat mencerminkan beragam kesalahan manusia. Hal ini bisa terlihat dari rumitnya membuat bungkusan ketupat. 


Kemudian, ketupat dapat dimaknai sebagai kesucian hati. Sebab setelah ketupat dibuka maka akan terlihat nasi putih yang mencerminkan kebersihan dan kesucian hati usai memohon ampunan dan segala kesalahan. 


Ketupat juga mencerminkan kesempurnaan. Bentuk ketupat begitu sempurna yang menggambarkan tentang kemenangan umat Islam setelah sebulan penuh berpuasa dan akhirnya bisa merayakan Hari Raya Idul Fitri. 


Subchi menyebut, ketupat biasanya dihidangkan dengan lauk yang bersantan sehingga dalam pantun Jawa disebutkan ‘kupat santen, kulo lepat nyuwun ngapunten’ atau bermakna saya salah mohon maaf. 


Tradisi Lebaran Ketupat atau Bakda Kupat merupakan simbolisasi ungkapan dari bahasa Jawa. Kupat adalah akronim dari Ngaku Lepat (mengakui kesalahan). Simbolisasi ini digunakan Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Jawa yang pada waktu itu masih banyak orang meyakini kesakralan dari ketupat. 


Asimilasi budaya dan keyakinan itu, menurut Subchi, pada akhirnya mampu mengantarkan kesakralan umat Islam merayakan Idul Fitri sebagai momentum yang tepat untuk saling meminta maaf, mengakui kesalahan, dan saling berbagi kepada sesama. 


Tradisi Lebaran Ketupat di Buntet Pesantren


Di Buntet Pesantren Cirebon, saat Lebaran Ketupat ini, terdapat tradisi saling kunjung. Setiap orang yang berkunjung, akan dipersilakan oleh tuan rumah untuk mencicipi ketupat, lengkap dengan lauk pauknya.


Ketupat yang tersaji biasanya sudah dipotong dalam bentuk dadu. Kemudian disiapkan ke dalam piring, diguyur lauk pauk berupa opor ayam, rendang sapi, empal kambing, atau sekadar tumis daun singkong. 


KH Hasanuddin Busyrol Karim Buntet (almarhum), pada 2014 silam pernah menyampaikan bahwa Lebaran Ketupat dilaksanakan sebagai momentum kebersyukuran usai menjalani puasa sunnah Syawalan selama seminggu. Namun saat ini lebih dititikberatkan sebagai media silaturahim bagi sanak famili yang belum sempat berjumpa pada Idul Fitri 1 Syawal. 


Menurut Kiai Hasan, terdapat perbedaan ketupat zaman dulu dan sekarang. Dulu, ketupat yang disajikan merupakan hasil tirakat dari para pembuatnya. Satu paket sajian yang akan disuguhkan itu merupakan hasil proses yang menghabiskan waktu selama dua minggu, bahkan sebulan untuk menganyam daun kelapa atau janur.


Orang-orang yang menganyam janur itu sembari membaca shalawat. Targetnya, saat pekerjaan selesai maka sudah membaca puluhan ribu shalawat. Namun kini, proses pembuatan ketupat dengan cara seperti itu tampaknya sudah sulit ditemukan. 


Penyebabnya antara lain sudah sangat jarang ditemukan santri yang pandai menganyam ketupat. Selain itu, sudah banyak penjaja wadah ketupat yang dinilai lebih praktis.


Meski begitu, tradisi Lebaran Ketupat masih sangat penting untuk terus dipertahankan. Sebab tradisi seperti ini merupakan ajaran dari para wali, terkhusus Sunan Gunung Djati di Cirebon. 


Selain di Buntet, beberapa pesantren lain di Cirebon juga secara serentak menggelar perayaan yang sama yakni di Pesantren Gedongan, Kempek, Babakan, Balerante, dan Arjawinangun, bahkan Keraton Kasepuhan dan Kanoman Cirebon pun mengadakan Lebaran Ketupat.

 

Pewarta: Aru Elgete
Editor: Syakir NF