Jakarta, NU Online
Peneliti Rumah Kita Bersama (KitaB), Nur Hayati Aida memaparkan data hasil survei kepada 600 responden di 4 kota berbeda terkait perempuan bekerja. Data tersebut menunjukkan adanya norma gender yang dilatarbelakangi oleh cara pandang keagamaan.
Aida mengatakan norma gender yang dimaksud berisi seperangkat aturan yang dipahami sebagai garis pembeda peran laki-laki dan perempuan serta prasangka-prasangka bias gender.
“Norma gender itu dipahami sebagai sebuah nilai yang memberikan larangan perempuan bekerja atau bekerja dengan syarat,” papar Aida dalam Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Mercure Sabang, Jakarta Pusat, Kamis (28/7/2022).
Norma gender tersebut, terang Aida, melahirkan beberapa batasan pada perempuan bekerja. Pertama, batasan fisik. Jarak fisik diartikan jarak antara rumah ke tempat bekerja. Datanya menunjukan, jarak tempuh perempuan dan laki-laki bekerja adalah berbeda. Rata-rata jumlah jarak tempuh ke tempat kerja menurut jenis kelamin adalah laki-laki 6844,87 meter dan perempuan 5367,65 meter.
Meskipun jumlah jarak perempuan menuju tempat kerja lebih rendah dibanding laki-laki, nyatanya waktu yang harus tempuhnya lebih banyak dibutuhkan oleh perempuan.
“Ini karena perempuan menggunakan transportasi umum dan itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Sedangkan laki-laki banyaknya menggunakan kendaraan pribadi seperti motor yang lebih cepat,” bebernya.
Kedua, batasan simbolik meliputi pakaian, ruang dan waktu, serta peran. Aida menjelaskan, tak jarang Perempuan bekerja mendapatkan komentar terkait pakaian yang seharusnya dikenakan.
“Lalu, ada ruang dan waktu, misalnya perempuan yang dianggap tidak boleh kerja di malam hari. Perempuan diasosiasikan tidak boleh kerja malam,” jabar Aida
Ketiga, peran atau larangan. Aida menyebut hal itu sebagai suatu tantangan tersendiri. Perempuan bekerja kerap kali masih harus dihadapkan dengan kebutuhan izin kepada pihak lain.
“Seorang anak perempuan harus mendapatkan izin untuk bekerja. Anak juga harus mendapatkan izin ketika ingin bekerja. Belum lagi perempuan yang bekerja di luar rumah harus bekerja di dalam rumah,” jelasnya.
Rumah KitaB sebagai lembaga penelitian untuk advokasi dan pemberdayaan komunitas terus melakukan upaya penguatan kesadaran akan pentingnya memperluas kesempatan perempuan bekerja dengan pemenuhan hak-hak perempuan berdasarkan pengalaman perempuan.
Inilah yang mendasari digelarnya Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan para tokoh Jakarta yang mewakili empat sektor yakni sektor pemerintah, organisasi keagamaan, dunia usaha dan komunitas buruh, serta media.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Muhammad Faizin