Nasional

60 Tahun Peristiwa 1965, Keluarga Korban Ungkap Trauma dan Diskriminasi yang Masih Terasa

Kamis, 27 November 2025 | 14:15 WIB

60 Tahun Peristiwa 1965, Keluarga Korban Ungkap Trauma dan Diskriminasi yang Masih Terasa

Para penyintas dan keluarga korban Tragedi 1965 saat menyampaikan kesaksian dalam acara Peringatan 60 Tahun Tragedi 1965 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu (26/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Enam dekade setelah peristiwa 1965, luka yang dialami para penyintas dan keluarga korban masih membekas hingga hari ini. Kesaksian yang muncul dalam peringatan 60 Tahun Tragedi 1965 menunjukkan bahwa dampak kekerasan politik pada masa itu terus mempengaruhi kehidupan mereka, baik dalam bentuk trauma, stigma, maupun diskriminasi yang diwariskan lintas generasi.


Suara-suara ini disampaikan dalam kegiatan Memoar dan Keseharian Korban, bagian dari rangkaian Peringatan 60 Tahun Peristiwa 1965 bertema Resiliensi: Melenting Melampaui Tragedi yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/11/2025).


Sumarno Purnawanto, salah satu penyintas yang pernah menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPI) Matraman, mengenang peristiwa saat ia diburu pada Oktober 1965 lantaran organisasinya dianggap dekat dengan PKI. Ia menegaskan bahwa IPI merupakan organisasi pemuda yang lahir pada masa Revolusi 1945 dan banyak beranggotakan Tentara Pelajar.


“IPI lahir dari konteks besar Revolusi 1945, sehingga dapat disebut sebagai anak kandung dari semangat revolusi itu sendiri. Meski IPI memiliki Bung Karno sebagai ketua kehormatan, kenyataannya saya tetap mengalami penangkapan,” jelas Sumarno.


Ia menceritakan kembali situasi Jakarta yang mencekam pada awal peristiwa tersebut. Saat berangkat bekerja, ia melihat tentara bersenjata memenuhi kawasan sekitar Stasiun Gambir hingga Lapangan Banteng, sedangkan selebaran yang beredar menuding pemuda PKI sebagai pelaku penculikan para jenderal, tuduhan yang menurutnya tidak sesuai dengan apa yang ia saksikan langsung.


“Pada tahun 1965, saya dipanggil bekerja di Departemen Koperasi di sekitar Gunung Sahari. Saat itu saya berjalan kaki menuju Gedung Sastra lewat Jalan Gambir dan hari itu di kawasan Lapangan Banteng hingga Masjid Istiqlal yang saat itu masih dalam pembangunan saya melihat tentara Rindam Jaya berjaga dengan perlengkapan lengkap,” paparnya.


“Malam harinya, melalui Radio RRI Jakarta, Mayor Jenderal Soeharto mengumumkan bahwa para penculik dan pembunuh para jenderal adalah anggota Kesatuan Pemuda Rakyat dari PKI. Saya sangat terkejut, karena sepanjang hari itu saya tidak melihat satupun anggota PKI yang memegang senjata,” tambahnya.


Kesedihan serupa juga dialami Warji, warga Brebes yang kehilangan tiga kakaknya akibat stigma politik pasca peristiwa G30S. Ia masih berusia 12 tahun ketika kekerasan merebak di desanya. Hingga kini, keluarganya masih merasakan diskriminasi yang tersisa dari masa lalu.


“Kami tidak mengerti mengapa mereka dituduh. Hingga sekarang, diskriminasi itu masih terasa. Meskipun tidak sekuat dulu, kami tetap menerima perlakuan berbeda dari masyarakat. Bahkan di KTP ayah saya tercantum tanda OT (Organisasi Terlarang), sementara kakak saya diberi label ET (Eks Tapol/Tahanan Politik),” tuturnya.


Warji juga menceritakan bagaimana tiga kakaknya mengalami nasib berbeda namun sama-sama tragis. Kakak pertama, seorang guru, hilang tanpa jejak. Kakak kedua tewas dikeroyok kelompok ormas setelah dituduh melindungi seseorang yang dicari aparat.


“Kakak yang ketiga, kakak saya yang masih mahasiswa, ketika dia sedang pergi menuju kos-kosan, dia ditangkap. Ternyata dia punya KTA IPI. Akhirnya dia ditahan dan dibawa ke Nusakambangan. Satu tahun kemudian, dia dipindah ke Ambarawa selama enam tahun,” jelasnya.


Luka sejarah itu juga diwariskan kepada generasi berikutnya. Eva, putri almarhum Patubah bin Abdul Rahim, baru mengetahui bahwa ayahnya pernah menjadi tahanan politik ketika ia berusia 32 tahun. Bahkan ibunya tidak mengetahui masa lalu itu karena menikah setelah ayahnya keluar dari Pulau Buru.


“Saya bangga sama Bapak karena memperjuangkan bangsa ini dengan caranya sendiri. Bapak juga bertanggung jawab sama keluarganya karena meskipun pada saat itu Bapak sangat susah sekali mencari kerja, ditolak di mana-mana, tetapi dia tetap berusaha,” ujarnya.


Selama bertahun-tahun, ayahnya bekerja serabutan demi menafkahi keluarga meski sering mendapat stigma dari lingkungan sekitar.


“Kurang lebih selama 20 tahun Bapak menjadi tukang karcis di pelabuhan, menjaga parkir. Meskipun di situ juga dihina-hina sebagai PKI oleh orang-orang di sekitarnya Bapak tetap menjalaninya,” pungkasnya.