KH Jadul Maula, Ketua Lesbumi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa Khidmah 2022-2027. (Foto: NU Online)
Jakarta, NU Online
Budaya dan agama merupakan dua entitas yang saling berkelindan satu sama lain. Keduanya membentuk simbiosis mutualisme, keberadaan yang saling menguntungkan. Sinergi budaya dan agama membentuk tradisi baru yang mengakar di tengah masyarakat.
Hal tersebut menjadi jurus yang dimainkan para Walisongo dalam menyebarkan Islam di Bumi Nusantara. Namun, dua entitas itu hendak dipisahkan dan bahkan dibenturkan oleh konstruksi kolonial dan pemurnian yang terus disuntikkan melalui berbagai saluran.
Keberadaan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) menjadi penting untuk mengambil jalan tengah dan menjadi perekat entitas itu agar dapat terus melekat sebagai satu kesatuan di hati masyarakat. Gol tersebut yang ditetapkan oleh KH Jadul Maula, Ketua Lesbumi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa Khidmah 2022-2027.
Oleh karena itu, ia menyadari perlunya membuat rencana yang sistematis dan menjadi agenda besar dalam mengupayakan penyatuan budaya dan agama agar dapat produktif dan kembali melekat dengan masyarakat. Sebab, hari-hari ini, banyak anak muda, santri, dan umat Islam Indonesia yang mengaku tidak mengerti akan kebudayaan sendiri, bahkan menaruh stigma terhadap Islam dan budaya lokal yang telah dikembangkan para wali pada zaman dahulu.
“Orang diasosiasikan dalam alam pikiran agama kita itu melihat ekspresi adat cenderung syirik, sesat, bid’ah, sesuatu yang negatif. Jadi kan berhadapan. Padahal kalau dulu lihat sejarahnya, adat itu sesuatu kreativitas dari para ulama, para wali untuk menyebarkan agama,” jelasnya saat ditemui di sela-sela kegiatan Rakernas dan Pengukuhan Lembaga dan Badan Khusus PBNU di Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat pada Jumat (25/3/2022).
Dari hal tersebut, ia melihat pentingnya Lesbumi hadir secara masif di tengah masyarakat untuk mengembalikan kesadaran mereka akan pentingnya budaya dan agama yang menyatu dalam adat dan tradisi sebagai sebuah jati diri mereka sebagai Islam Nusantara. Karenanya, Sapta Wikrama sebagai sebuah kredo budaya harus terus disosialisasikan kepada masyarakat agar mereka tidak lepas dari akar budayanya.
“Kita akan mensinergikan kembali gerakan keagamaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan sehingga pertumbuhan jati diri keagamaan kita di tengah perkembangan modernitas bisa menjahit,” katanya.
Sebetulnya, lanjut Kiai Jadul, adat tradisi budaya Nusantara merupakan kreativitas yang dipahami dari sudut pandangan keagamaan yang utuh, terutama tasawuf. Dimensi tasawuf itu untuk melihat semangat keagamaan lebih ke pembersihan batin, pembentukan akhlak, hingga penjernihan rasa.
Selama ini, Lesbumi telah mengedukasi masyarakat mengenai hal-hal di atas sembari terus mengembangkannya melalui Ngaji Budaya, Ngaji Literasi, hingga Ngaji Naskah. Hal lain yang dilakukan adalah menyelenggarakan Pagelaran Budaya.
Di samping itu, Lesbumi juga melaksanakan Astawikrama, sebuah program pendidikan kader di Lesbumi untuk melahirkan kader budaya sebagai sumber daya manusianya untuk mengembangkan gerakan keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan menjadi satu nafas.
Baca Juga
Agenda Kebudayaan Lesbumi
Kongres dan Festival kebudayaan Islam Nusantara
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan untuk memperluas promosi ini adalah menghelat Kongres Kebudayaan Islam Nusantara. Sebab, Kongres Kebudayaan yang selama ini berlangsung di luar Lesbumi menggunakan perspektif sekular, seakan menempatkan Islam berada di luar sehingga memisahkan agama dan budaya.
Selain itu, Festival Budaya Nusantara juga menjadi ajang perhelatan kebudayaan yang harus dilakukan dalam kepemimpinannya di Lesbumi selama masa khidmah 2022-2027. Kosmopolitanisme Islam di Nusantara itu perlu ditampilkan dalam pertunjukan. Sebab, sebagaimana diketahui para penyebar Islam di Bumi Jawi ini berasal dari berbagai belahan dunia, mulai dari India, Arab, Asia Tengah, hingga Afrika Barat.
“Festival itu kita ingin menampilkan sisi tidak hanya budaya sebagai artefak, tetapi juga sisi dialog peradabannya itu. Festival musik spiritual dari Nusantara, Sunda, Sulawesi, Maluku, Papua, Aceh, Afrika, Iran, Persia, Spanyol,” katanya.
“Sehingga Festival Islam Nusantara ini kosmopolitan, tidak semata lokal atau interlokal, tetapi sebetulnya internasional,” lanjut Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, Yogyakarta itu.
Hal ini, menurutnya, sebagai satu cermin menghadapi globalisasi hari ini. Dialog kebudayaan yang ditampilkan Islam Nusantara itu terbuka terhadap pengaruh, menyerap peradaban besar dunia, dan bisa memproduksi sesuatu yang baru sebagai sebuah karya Indonesia.
“Kita bisa melihat ini India, ini China, dalam produk budaya itu. Iya memang ada semuanya. Itu gambarannya. Tapi itulah Indonesia. Itulah Nusantara,” katanya.
Sinergi dengan banyak pihak
Lesbumi PBNU juga bergerak untuk menginisiasi pesantren budaya di desa-desa. Hal ini tentu saja, kata Kiai Jadul, tidak bisa menafikan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) sebagai asosiasi pesantren NU. Karenanya, sinergi dengan RMI ini bakal dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut.
Pesantren tersebut menekankan para santrinya untuk dapat belajar berkesenian, mulai belajar bermusik, menari, berteater, hingga penulisan kreatif.
Sebagai pesantren, tentu saja tidak menafikan pembelajaran agama. Dalam hal ini, Kiai Jadul meletakkan standar yang tidak muluk-muluk. Para santri cukup mempelajari fiqih secara mendalam dari kitab Safinatun Najah karya Syekh Salim bin Sumair al-Hadrami dan akidah dari kitab Aqidatul Awam karya Syekh Ahmad al-Marzuqi. Para santri juga diajarkan untuk menyerap nilai-nilai kehidupan dengan mempelajari sejarah Nusantara.
Meskipun demikian, Kiai Jadul masih akan terus mematangkan rencana tersebut. Hal itu dilakukan dengan terus menjalin diskusi bersama berbagai pihak terkait.
Rencana itu muncul usai Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Lesbumi menjelang Muktamar tahun lalu di Pesantren Kaliopak yang diasuhnya. Beberapa peserta mengaku tertarik untuk mendirikan pesantren serupa yang menekankan budaya.
“Pesantren budaya ini menjadi basis percontohan bagaimana Islam Nusantara itu ikut terlibat dalam proses pembentukan budaya di wilayahnya,” katanya.
Ia juga mengaku ingin menjalin pembicaraan dengan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU untuk mengembangkan Fiqih Kebudayaan.
Dalam kampanye dan promosi kebudayaan, Lesbumi PBNU juga menggandeng Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU.
Kiai Jadul juga berencana untuk mengembangkan Lesbumi di kampus-kampus. Sebab, ia pernah mendapatkan laporan dari sebuah kampus seni yang disusupi paham pemurnian atau fundamentalisme Islam sehingga mengharamkan berbagai kesenian.
“Akhirnya Lesbumi masuk di situ. Sekarang banyak kita merekrut teman-teman dari situ. Aslinya mereka senang,” ujarnya.
Sebab, mereka menemukan seni memiliki hubungan yang erat dengan agama, tidak sekadar kesenian an sich. “Akhirnya mereka ke pesantren untuk mengetahui bahwa praktik berkesenian itu sebetulnya berkaitan dengan pengembangan relijiusitas. Islam Nusantara ini terbuka, inklusif,” pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin