Fragmen HARLAH KE-60 LESBUMI

Dari Muara ke Gelanggang, Wujud Perhatian Lesbumi terhadap Sastra

Senin, 28 Maret 2022 | 09:00 WIB

Dari Muara ke Gelanggang, Wujud Perhatian Lesbumi terhadap Sastra

Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi).

Dalam konteks masa awal kelahirannya, Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) hadir di tengah panasnya suasana polemik kebudayaan di Indonesia, antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di satu pihak dan para pendukung Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang dicetuskan pada 17 Agustus 1963 di pihak lain. Keduanya, Lekra dan Manifes Kebudayaan pada akhirnya bubar dalam selisih waktu 2 tahun.


Seperti yang sudah diketahui, Lekra ikut dibubarkan bersama Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1966. Sedangkan kelompok Manifes Kebudayaan sendiri, sudah bubar terlebih dahulu. Tepatnya pada 8 Mei 1964, Manifes Kebudayaan resmi dinyatakan terlarang oleh Presiden Sukarno.


Yang menarik, Lesbumi yang tidak larut dalam polemik tersebut (meski secara prinsip Lesbumi ikut menentang keras pendirian ‘Politik adalah Panglima’, seperti yang termaktub dalam Surat Kepercayaan, Majalah Gelanggang: 1966) justru pada akhirnya tetap bertahan, bahkan sampai kini menginjak usianya yang ke-60 tahun.


Lesbumi dibentuk pada 28 Maret 1962. Sebagaimana dikutip dari buku LESBUMI: Strategi Politik Kebudayaan karya Choirotun Chisaan (2008), berdasarkan Surat Keputusan PB Partai NU No. 1614/Tanf/VII-62, tanggal 1 Shofar 1382 H/3 Djuli 1962, setelah lahir, beberapa bulan kemudian dibentuk susunan kepengurusan awal Lesbumi, yang kala itu masih memiliki kepanjangan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia.


Rais ‘Aam KH Abdul Wahab Chasbullah menempati posisi sebagai pelindung Lesbumi. Untuk posisi Ketua Umum, ditunjuklah H Djamaluddin Malik, dengan didampingi Wakil Ketua I dan II Usmar Ismail dan Asrul Sani. Kemudian Anas B.S sebagai Sekjen didampingi Hasbullah Chalid (Sekretaris I). Sedangkan untuk bagian Bendahara dan wakilnya, ada H Mohd Madehan dan H A Latief.


Lalu di bagian anggota terdapat sejumlah nama seperti H Tubagus Mansur Makmun, H Mahbub Djunaidi, H Husny, H Abd Sjukur Tajib, Nadjaruddin Naib, Huscin Alaydrus, Kiai Musa Machfudz, Muhtar Byna, dan Ishari (Jawa Timur).


Penyebutan Ishari (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) sebagai salah satu anggota Lesbumi menjadi hal yang cukup menarik. Pasalnya, dalam perkembangannya Ishari kemudian menjadi Banom NU tersendiri, sedangkan Lesbumi sendiri justru menjadi Lembaga NU. Selain Ishari, adapula bagian khusus Pencak Silat yang diwakili oleh KH M Tambih dan H Djum Maksum. Serupa dengan Ishari, bagian khusus Pencak Silat ini kelak bertransformasi menjadi Banom baru bernama Pagar Nusa.


Kembali ke susunan pengurus, selain anggota adapula bagian pembantu dan penasihat aktif. Di bagian pembantu terdapat nama KH M Wahib Wahab dan KH A Sjaichu. Sedangkan untuk penasihat, yakni KH Idham Chalid, KH Zainul Arifin, KH Saifuddin Zuhri, dan KH Fattah Jasin.


Wajah Baru

Lahirnya Lesbumi di tahun 1962 tersebut, tentu memberi warna tersendiri di jagat kesenian dan kebudayaan tanah air. Matroni dalam artikelnya yang berjudul Polemik Kebudayaan Lesbumi (NU Online, 2008) menerangkan ada wajah baru yang ingin diperdengarkan oleh Lesbumi di tengah riuhnya pertarungan aliran berkesenian pada masa-masa tersebut. Karakter utama yang membedakan Lesbumi dari Lekra dan Manikebu adalah kentalnya warna “relijius” dalam produksi ekstrim antara kubu Lekra dan Manikebu.


Pada titik ini, sebenarnya Lesbumi memberikan alternatif baru dalam berkesenian dengan memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) setara dengan kebudayaan melalui sebuah “kontestasi” seni-budaya ketimbang sebuah “pertarungan” politik. Sikap “tengah-tengah” (moderat) nampaknya coba diterima Lesbumi senada dengan garis ideologi Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi landasan politik keagamaan NU, organisasi induknya.


Secara aktivitas organisasi, Lesbumi menghimpun berbagai macam pelukis, bintang film, pemain pentas, dan sastrawan. Berbagai karya pun lahir dari mereka. Karya dari para pegiat Lesbumi kerap kali ditunggu penampilannya, mulai dari pembacaan puisi atau pementasan drama di acara tingkat kampung, hingga pemutaran film karya mereka di bioskop-bioskop.


Terkhusus di bidang sastra, Lesbumi memberikan perhatiannya secara serius, dengan secara konsisten tampil secara berkala tiap akhir pekan dengan mengisi rubrik sastra di Harian Duta Masjarakat. Dalam pengamatan penulis, rubrik yang muncul tiap hari Ahad tersebut, berisikan cerita pendek, puisi, sajak, esai, dan sebuah kolom khusus untuk kaum muda yang bernama Duta Teruna.


Dalam perkembangannya, rubrik yang diasuh para pegiat Lesbumi tersebut diberikan nama Muara. Koleksi Duta Masjarakat edisi tanggal 4 April 1965 yang penulis miliki, di sana terdapat nama-nama redaktur Muara, yakni H Asrul Sani, H Usmar Ismail, H Misbach Yusa Biran, Fuad Abdurrahman, dan Chaidir Rachman yang menjadi Sekretaris Redaksi. Di masa ini, kolom Duta Teruna masih tetap hadir, sebagai wadah untuk menjembatani segmen kawula muda.


Muara sendiri memiliki tagline Lembaran Sastra, Seni, dan Budaya. Tagline ini pula yang kemudian diadopsi pada majalah Gelanggang, sebuah majalah sastra yang diterbitkan sendiri oleh Lesbumi (terpisah dari harian Duta Masjarakat) di penghujung tahun 1966. Sastera, Seni, dan Pemikiran, demikianlah tagline yang tertera pada Majalah Gelanggang.


Dari penelusuran penulis, majalah Gelanggang terbit pertama kali (No. 1 Tahun 1) pada Desember 1966, dengan Pimpinan Redaksi H Asrul Sani dan Usmar Ismail, seorang tokoh sastra dan sutradara film ternama di Indonesia, yang kini telah diangkat menjadi salah satu Pahlawan Nasional.


Dalam pengantarnya, Redaktur Majalah Gelanggang menerangkan tujuan penerbitan majalah ini, yakni membentuk suatu masyarakat ber-Tuhan. “Di mana tidak ada kezaliman, di mana keadilan berkuasa, di mana kemakmuran menjadi milik bersama. Dan program majalah ini adalah program yang dirumuskan menurut kondisi perjuangan rakyat kita menuju tujuan tersebut,”


Kemudian dijelaskan pula pelbagai masalah yang tengah dihadapi bangsa kala itu, yang barangkali masih relevan di masa kini, yakni masalah yang lazim disebut sebagai modernisasi.


“Dalam hal ini kita bisa belajar dari sejarah, bukan dari sejarah bangsa kita sendiri saja tapi dari sejarah seluruh dunia. Karena lebih lagi dari kurun-kurun zaman yang lewat, sekarang ini lebih jelas, bahwa kita adalah hasil dari pergolakan sejarah dunia..


..Dalam proses sejarah ini kita melihat suatu kecondongan sekularisasi yang ekstrem dan peremehan agama jika tidak dapat dikatakan: penyingkirannya sama sekali tapi tanpa suatu “social direction” atau “bimbingan sosial” yang hanya dapat diberikan oleh agama. Agama sebagai suatu kesatuan yang merupakan pengikat dan pemberi bentuk bathin dari kesatuan kebudayaan…


…Sekularisasi ekstrem yang pada suatu saat memberikan nilai religius pada demokrasi, nasionalisme, sosialisme sebagai pengganti agama. Akibatnya adalah: penggeseran tanggung jawab seniman dan budayawan dari pada tanggung jawabnya yang sebenarnya. Kami ingin waspada terhadap ini.” (Surat Kepercayaan, Majalah Gelanggang, 1966)


Di saat mulai bermunculan majalah sastra seperti Horison, majalah Gelanggang ini, menjadi media penting dan strategis untuk menyampaikan pemikiran dan karya sastra dari para pegiat Lesbumi kepada khalayak umum.


Sayang, penulis belum mendapatkan keterangan pasti kapan majalah Gelanggang ini terakhir terbit. Penulis sendiri hanya memiliki koleksi terbitan perdana dan kedua, yang didapatkan dari salinan koleksi arsip Perpustakaan PBNU. Konon, dari beberapa informasi yang penulis dapatkan, edisi ketiga menjadi yang pamungkas dari penerbitan majalah Gelanggang.


Penulis: Ajie Najmuddin

Editor: Fathoni Ahmad