Nasional

Ahli Gizi: Keracunan Massal MBG karena Minim Pengawasan dalam Proses Penyiapan Makanan

Jumat, 19 September 2025 | 11:00 WIB

Ahli Gizi: Keracunan Massal MBG karena Minim Pengawasan dalam Proses Penyiapan Makanan

Ilustrasi proses penyiapan makanan di dapur MBG. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Kasus keracunan massal program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi. Kejadian terbesar tercatat di Kabupaten Lebong, Bengkulu, pada 27-28 Agustus 2025, yang menimpa 446 siswa mulai dari SD, SMP, hingga MTs. Peristiwa serupa juga dialami 146 santri Pondok Pesantren Al-Madina, Desa Pingit, Banjarnegara, Jawa Tengah, pada Selasa (16/9/2025).


Ahli Gizi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Fahmy Arif Tsani, menilai kasus keracunan tersebut dipicu oleh minimnya pengawasan dalam proses penyiapan makanan higienis.


“Tempat atau dapur MBG itu sudah layak atau sudah memenuhi standar atau belum? Kalau belum, sebaiknya penuhi dahulu karena semua pengerjaan proses makanan ditentukan oleh dapurnya,” ujar Fahmy kepada NU Online pada Kamis (18/9/2025).


Ia menegaskan, kelayakan dapur dimulai dari cara penyimpanan bahan makanan mentah. Bahan basah seperti daging, sayur, dan buah harus disimpan pada tempat bersuhu rendah. Sementara bahan makanan kering bisa ditempatkan pada wadah bersuhu ruang dengan sirkulasi udara dan pencahayaan yang baik.


“Bahan makanan yang kering maupun yang basah itu tidak boleh dicampur, dan itu masing-masing sudah ada ketentuannya,” ucap Fahmy. 

Ia menyebut bahwa titik paling kritis dari penyajian makanan ada pada proses pengolahan.


"Saya kira itu titik paling kritis, apakah pengolahannya itu sudah sesuai dengan prinsip pengolahan yang benar atau belum,” katanya.


Ia menegaskan bahwa dalam pengolahan makanan yang memerlukan pemanasan, suhu harus benar-benar diperhatikan.


“Jangan sampai bahan makanan itu tidak panas sempurna atau kemungkinan bakterinya itu masih hidup,” ungkapnya.


Selain faktor dapur, keterbatasan sumber daya manusia dan rendahnya pemahaman penjamah makanan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) juga menjadi risiko fatal.


“Apakah sudah menerapkan personal higienis yang baik dan benar belum? Terkadang tidak patuh terkait aturan penjamah makanan. Kadang sumber kontaminasi itu berasal dari situ,” ujarnya.


Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap waktu konsumsi makanan. Menurutnya, makanan yang sudah dimasak sebaiknya tidak disimpan lebih dari empat jam agar tidak memicu pertumbuhan bakteri.


“Makanan yang disajikan pagi, ya maksimal dimakan siang, jangan sampai dimakan sore apalagi malam,” paparnya.


Anggota Lembaga Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LK PBNU) tersebut menegaskan, jika kasus keracunan masih terjadi, maka distribusi makanan harus dihentikan.


“Kadang KLB (kejadian luar biasa) keracunan menyebar menjadi banyak itu terjadi karena sistemnya tidak jalan, ada satu yang keracunan tapi yang lainnya masih makan, sehingga korbannya jadi tambah banyak,” ujar Fahmy.


“Jika sudah ada seperti ini, maka stop, sudah tidak boleh diteruskan, justru makanan ditarik lagi dan dianalisis lagi makanannya apa yang mendasari keracunan tersebut,” pungkasnya.