Nasional

Akademisi Dorong Reformasi Polri Menyeluruh, Tegaskan Kedudukannya Tetap di Bawah Presiden

Senin, 8 Desember 2025 | 17:00 WIB

Akademisi Dorong Reformasi Polri Menyeluruh, Tegaskan Kedudukannya Tetap di Bawah Presiden

Suasana rapat Komisi III DPR membahas reformasi polri bersama Akademisi (Foto: Tangkapan layar Youtube TVR Parlemen)

Jakarta, NU Online 

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung Budiyono menyerahkan dokumen kajian hukum (Legal Research) kepada Panitia Kerja (Panja) Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan Komisi III DPR RI. Dokumen itu menyoroti urgensi reformasi Polri dan memaparkan argumentasi konstitusional yang menguatkan bahwa posisi Polri tetap berada langsung di bawah Presiden.


Dalam kajian tersebut, Budiyono menegaskan bahwa penempatan Polri di bawah Presiden merupakan amanat eksplisit dari UUD 1945, TAP MPR VII/2000, serta UU Nomor 2 Tahun 2002. 


Ia menilai bahwa wacana menempatkan Polri di bawah kementerian atau lembaga lain tidak memiliki landasan hukum yang kuat, karena fungsi kepolisian sebagai penjaga keamanan dan ketertiban merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif yang dipimpin Presiden.


“Penempatan Polri di bawah Presiden bukanlah kebetulan, melainkan hasil proses sejarah panjang untuk memastikan Polri tidak kembali pada model militeristik maupun menjadi subordinat birokrasi teknis,” tulisnya dalam rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, (8/12/2025) dikutip NU Online melalui Youtube TVR Parlemen.  


Ia juga mengingatkan bahwa sejak lahirnya era reformasi dan terbitnya TAP MPR VII/2000, Kepolisian Republik Indonesia diarahkan menjadi institusi sipil yang profesional, modern, dan dekat dengan masyarakat. 


Menurutnya, fokus reformasi seharusnya tidak diarahkan pada perubahan struktur kelembagaan, melainkan pada pembenahan budaya kerja aparat.


“Masalah utama penegakan hukum di Indonesia bukan terletak pada struktur kelembagaan atau aturan, tetapi pada budaya aparat penegak hukum,” paparnya.


Budiyono merinci lima langkah kunci reformasi Polri yaitu transparansi rekrutmen, perubahan paradigma pelayanan, penguatan pemahaman HAM, peningkatan transparansi penempatan jabatan, serta penguatan sistem pengawasan internal dan eksternal. 


Ia menyebut bahwa langkah-langkah tersebut merupakan syarat untuk membentuk good police sebagai fondasi good governance.


Dalam kajian sejarahnya, Budiyono memaparkan perjalanan panjang posisi Polri sejak masa kolonial, periode awal kemerdekaan, integrasi dengan ABRI pada masa Orde Baru, hingga akhirnya dipisahkan dari TNI pada 1998.


“Bahwa penempatan Polri di bawah Presiden adalah keputusan hukum-politik yang dirancang untuk memastikan polisi bekerja demi rakyat, bukan sebagai alat politik kelompok tertentu,” tandasnya.


Dalam rapat yang sama, Akademisi Hukum Pidana Universitas Tarumanegara Hery Firmansyah mendorong agar reformasi Polri dilakukan menyeluruh hingga level Kepolisian Sektor (Polsek). Ia menilai bahwa pembenahan tidak boleh berhenti pada level manajemen pusat.


Hery menegaskan bahwa perubahan yang dibutuhkan bukan sekadar pembaruan aturan, tetapi juga perbaikan pola pikir aparat di semua tingkatan.


Ia menekankan pentingnya keseragaman cara pandang aparat terhadap tugas penegakan hukum dan implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP).


"Kalau di Kepolisian itu kita tahu ada Polda, ada Polres, ada Polsek. Bagaimana pemahaman mereka tentang hal ini itu sama dan dilakukan sesuai dengan SOP yang ada," kata Hery.


Ia menilai visi reformasi harus mampu dijalankan hingga tingkat bawah agar perubahan tidak hanya berhenti pada level pimpinan. Selain itu, Hery menyoroti persoalan klasik koordinasi penanganan perkara antara Polri dan kejaksaan yang menurutnya masih menyisakan banyak hambatan.


Ia menilai perlunya batasan yang jelas terhadap kasus bolak-balik berkas antara dua institusi tersebut agar proses penegakan hukum berjalan efektif. 


Hery juga mendorong peningkatan konsistensi pemberian sanksi hukum maupun administratif bagi aparat atau pihak yang menyalahgunakan kewenangan.


Menurutnya, aturan sanksi yang tegas penting untuk memastikan keberanian aparat dalam menegakkan hukum, sekaligus menjaga perspektif kepentingan masyarakat.


"Isu netralitas dan profesionalitas menjadi lembaga hukum yang independen, mudah-mudahan ini tidak hanya jadi slogan. Saya yakin kita semua sudah paham betul bunyi kalimat ini dan juga mungkin sudah punya pemahaman yang komprehensif," ujarnya.