Akademisi UGM Nilai Sentralisasi BRIN Ancam Independensi dan Kebebasan Akademik
Rabu, 3 Desember 2025 | 17:45 WIB
Akademisi UGM Herlambang Perdana Wiratraman dalam Diskusi bertema Pergerakan dan Ketahanan Masyarakat Sipil dalam Neo-Otoritarianisme di Indonesia yang diselenggarakan Tifa Foundation secara daring, Rabu (3/12/2025). (Foto: tangkapan layar Zoom)
Jakarta, NU Online
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang Perdana Wiratraman menilai bahwa model sentralisasi yang diterapkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sejak awal mengancam independensi lembaga riset serta melemahkan kebebasan akademik di Indonesia.
Ia memandang bahwa konsep penyatuan seluruh badan penelitian ke dalam satu lembaga justru memunculkan persoalan mendasar dalam tata kelola pengetahuan dan birokrasi riset.
“BRIN sendiri adalah produk masalah sebenarnya di awalnya. Karena dia berangkat dari upaya yang keliru membuat sentralisasi pengetahuan. Yang itu dampaknya ternyata sentralisasi birokrasi, sentralisasi upaya untuk mengendalikan ilmuwan-ilmuwannya dengan otoritas politik yang sangat hierarkis,” ujarnya dalam Diskusi bertema Pergerakan dan Ketahanan Masyarakat Sipil dalam Neo-Otoritarianisme di Indonesia yang diselenggarakan Tifa Foundation secara daring, Rabu (3/12/2025).
Herlambang menilai model tersebut berdampak pada penguatan kontrol politik terhadap para peneliti. Ia mencontohkan rencana memasukkan peneliti dari lembaga independen seperti Komnas HAM ke dalam struktur BRIN, yang menurutnya berpotensi mengikis independensi kerja lembaga tersebut.
Ia menegaskan bahwa dampak situasi ini sudah terlihat dalam beberapa tahun terakhir, antara lain melemahnya iklim kebebasan akademik, minimnya keberanian dalam riset-riset progresif, serta mandeknya inisiatif penelitian strategis di wilayah-wilayah penting, termasuk riset kelautan di kawasan Indonesia Timur.
“Jadi ini kita berada dalam posisi yang politik anti-sains, tawaran saya adalah kita harus tetap setia untuk membongkar secara kritis problem-problem ketidakadilan dan dihubungkan dengan bagaimana pengetahuan itu memang harus dihadirkan dalam situasi ketidakadilan, sehingga pengetahuan itu punya keberpihakan terhadap persoalan-soalan kemanusiaan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Herlambang menjelaskan bahwa pola-pola represi negara terhadap masyarakat sipil saat ini menunjukkan kemiripan dengan praktik otoritarianisme pada era Orde Baru. Ia menyoroti berulangnya kasus pelanggaran HAM, penyerangan terhadap organisasi masyarakat sipil, hingga terus berlanjutnya impunitas, yang menurutnya memperkuat kecenderungan tersebut.
“Impunitas tidak pernah diselesaikan, sehingga kita mendapati realitas dengan konteks politik yang baru, yakni upaya secara sistematis menangguh keuntungan melalui politik elektoral. Nah, ini yang kemudian dimanai sebagai otokratik elektoralismenya,” jelasnya.
Sementara itu, Pegiat Muda untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Eno Liska menilai bahwa kondisi demokrasi hari ini menuntut kelompok muda untuk terus mencari bentuk-bentuk perlawanan baru. Ia menyebut lahirnya sejumlah kebijakan seperti KUHP baru, revisi UU ITE, hingga RUU TNI turut menambah tekanan terhadap ruang sipil.
“Aksi hari ini bukan hanya di depan Senayan. Kawan-kawan membuat teater, membuka lapak baca di taman setiap akhir pekan, atau kampanye isu di media sosial. Sekecil-kecilnya perlawanan adalah perlawanan hari ini,” ujarnya.
Eno menjelaskan bahwa gerakan akar rumput dari Aceh hingga Papua mulai kembali terhubung melalui jejaring koalisi. Termasuk pula dukungan dari para pekerja kantoran yang tidak dapat turun ke jalan, namun memberikan kontribusi finansial untuk kegiatan advokasi.
Ia juga menekankan pentingnya pendidikan politik sebagai agenda jangka panjang. Beberapa kelompok disebutnya mulai menyederhanakan bahasa gerakan agar lebih mudah dipahami publik, termasuk menjangkau audiens internasional dengan memproduksi konten berbahasa Inggris.
Eno berharap imajinasi tentang demokrasi yang lebih inklusif dapat terus diperluas, sehingga aksi publik tidak lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan menjadi bagian sehat dari kehidupan berdemokrasi.
“Kami membayangkan aksi itu bukan hanya mahasiswa, tapi juga pekerja kantoran, buruh, dan pelajar, agar semua orang bisa turun tanpa rasa takut,” ujarnya.