Nasional

BRIN Sebut Demokrasi Indonesia Berjalan di Tempat, Birokrasi Jadi Mesin Politik

NU Online  ·  Rabu, 24 September 2025 | 20:03 WIB

BRIN Sebut Demokrasi Indonesia Berjalan di Tempat, Birokrasi Jadi Mesin Politik

Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor. (Foto: dok BRIN)

Jakarta, NU Online 

Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor menyoroti arah perjalanan demokrasi Indonesia yang dinilainya semakin stagnan dan cenderung masuk dalam kategori hybrid regime atau bahkan “kompetitif-otoriter”.


“Kita mau ke mana nih demokrasi kita? Apakah betul-betul mengarah pada transisi menuju demokrasi yang sangat berkepanjangan, atau kita sebetulnya sudah stuck dalam konteks hybrid regime?” kata Firman dalam webinar yang bertajuk menguji ketahanan demokrasi di tengah belitan populisme, oligarki & ketidakpastian ekonomi-politik pada Rabu (24/9/2025).


Ia menjelaskan, pasca-reformasi 1998, banyak kalangan percaya Indonesia akan segera memasuki era demokrasi yang matang. Namun, kajian-kajian terbaru justru menunjukkan arah sebaliknya. 


Menurut Firman, temuan FIDEM pada 2024 mencatat ada 45 negara yang mengalami autokratisasi, termasuk stagnasi hingga kemunduran demokrasi.


“Teman saya, Tom Power, mengatakan kita sudah otoritarian lagi. Jangan-jangan, transisi menuju demokrasi itu sebuah ilusi. Apa yang terjadi hari ini bukan transisi, tapi situasi stagnan,” tegasnya.


Firman menguraikan tanda-tanda rezim kompetitif-otoriter yang kini tampak di Indonesia. Pemilu tetap diselenggarakan, namun sarat kecurangan dan manipulasi, termasuk politisasi bansos hingga ke tingkat RT. Media memang bebas, tapi dengan batasan “tak tertulis” agar tidak terlalu kritis.


“Hukum diselenggarakan, tapi bukan rule of law, melainkan rule by law. Aturan dibuat bukan untuk melindungi demokrasi, tapi kepentingan rezim,” ujarnya.


Ia menambahkan, oposisi politik memang ada, tetapi tidak mampu memengaruhi jalannya kebijakan. 


“Walaupun ekspresif di media sosial, hasilnya akan selalu sesuai dengan kepentingan rezim,” kata Firman.


Menurutnya, kondisi ini diperparah oleh kolaborasi antara penguasa dan pengusaha. “Kejatuhan satu bangsa disebabkan karena struktur ekonomi politiknya eksklusif. Oligarki makin kokoh karena persengkokolan itu,” jelasnya, mengutip kajian Acemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail.


Partai Politik Lemah, Publik Tak Peduli

Firman juga menyoroti lemahnya peran partai politik yang lebih mengejar kekuasaan daripada ideologi atau kebijakan.


"Shifting ini terjadi, dari ideology minded ke policy seeking, dan sekarang hanya office seeking. Bagi partai, prestasi adalah jika berhasil dapat kursi menteri, bukan kualitas kebijakan," tegasnya.


Sementara di sisi masyarakat, apatisme politik melahirkan politisi medioker. “Public ignorance menghasilkan mediocre politician. Lingkaran setan ini melahirkan kebijakan yang irrelevant,” tambahnya.


Meski pesimis terhadap kondisi demokrasi saat ini, Firman tetap menawarkan solusi. Menurutnya, kunci utama ada pada kepemimpinan yang berkomitmen terhadap demokrasi. Selain itu, reformasi partai politik, penyelenggara pemilu, dan netralitas birokrasi menjadi keharusan.


“Mau seindah apapun rencana kita, kalau leader kita tidak peduli terhadap kerja-kerja demokrasi, hasilnya akan sama. Demokrasi butuh partisipasi yang bermakna, bukan mobilisasi semu. Musuh terbesar kita sekarang adalah oligarki, bukan sekadar politik identitas,” pungkas Firman.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang