Aksi Kamisan Ke-890, Aliansi Keterbukaan Sejarah Desak Negara Akui Pelanggaran HAM Berat
Kamis, 11 Desember 2025 | 21:30 WIB
Perwakilan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) Ita Nadia dalam Aksi Kamisan Ke-890 dengan tema Tolak Manipulasi Sejarah, Rakyat Berhak Mengetahui Kebenaran digelar di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/12/2025). (Foto: NU Online)
Jakarta, NU Online
Aksi Kamisan Ke-890 dengan tema Tolak Manipulasi Sejarah, Rakyat Berhak Mengetahui Kebenaran digelar di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/12/2025).
Perwakilan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) Ita Nadia menegaskan bahwa pemerintah telah melakukan tiga bentuk pelanggaran serius, yakni penghapusan dan penulisan ulang sejarah, pengabaian terhadap kasus perkosaan Mei 1998, serta penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
“Dengan terpilihnya Soeharto sebagai pahlawan nasional, kami melihat adanya upaya sistematis untuk mencuci narasi sejarah. Kami juga menuntut agar Revisi Sejarah Nasional Indonesia dihapuskan. Tuntutan ini sudah kami ajukan ke Mahkamah Konstitusi,” tegas Ita.
Dalam kesempatan tersebut, Ita juga menyampaikan kembali kisah Bernadinus Realino Norma Irawan atau Wawan, salah satu korban tewas dalam Tragedi Semanggi pada 13 November 1998. Ia menceritakan kisah masa lalunya dan sejumlah relawan yang menjadi saksi saat Wawan mengembuskan napas terakhir di Universitas Atma Jaya.
“Wawan mengenakan kaus putih bertuliskan Coconut Island. Ada lubang kecil tepat di tengah tulisan itu peluru kecil yang pecah di dalam tubuhnya. Saya melihat sendiri proses otopsi di RSCM,” kata Ita.
Sebagai sejarawan, Ita menilai penulisan ulang Sejarah Nasional di bawah Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebagai bentuk rekayasa politik. Revisi tersebut dinilainya berbahaya karena menghapus memori kolektif bangsa terkait kekerasan negara, terutama pada masa Orde Baru.
“Kasus Wawan, kasus 65, dan dua belas pelanggaran HAM berat lainnya tidak akan dituliskan. Ini adalah pencucian sejarah,” ujarnya.
Ita juga menyinggung bahwa pengabaian negara terhadap korban kekerasan masa lalu masih terus berlanjut, mulai dari korban 1965 hingga konflik yang masih terjadi di Papua, termasuk dampak proyek food estate terhadap perempuan dan anak.
“Banjir di Sumatra adalah bukti kerakusan para pejabat yang merusak lingkungan. Ini bukan hanya bencana alam, tetapi bencana politik. Di Papua banyak sekali perempuan dan anak-anak menjadi korban dari food estate dan proyek strategis nasional; inilah yang harus kita perjuangkan,” ujarnya.
Ita juga menyerukan solidaritas publik untuk terus hadir dalam perjuangan menolak manipulasi sejarah.
“Saya ingin mengajak teman-teman, jika nanti kami berproses di MK maupun PTUN, mari bersama-sama mendukung gerakan yang membawa kasus-kasus pelanggaran HAM berat ke Mahkamah Konstitusi dan ke PTUN. Sejarah kita harus dimulai dari sejarah yang adil dan berpihak kepada kemanusiaan serta rakyat,” pungkasnya.
Selain itu, dalam Aksi Kamisan ke-890, sederet elemen masyarakat sipil, di antaranya KontraS, Imparsial, Perempuan Mahardika, LBH Jakarta, dan Trend Asia, menyerukan:
Pertama, pemerintah menghentikan penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia dan membatalkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto karena hanya akan melanggengkan impunitas dan menggelapkan fakta sejarah pelanggaran HAM.
Kedua, Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran berat HAM dengan membentuk Tim Penyidik Ad Hoc sesuai mandat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Ketiga, penyelidikan pro-justitia Komnas HAM atas kasus-kasus dugaan pelanggaran berat HAM, termasuk kasus pembunuhan Munir Said Thalib, harus dilakukan secara independen dan tidak boleh diintervensi oleh siapa pun.