Anak Indonesia Habiskan 11 Jam Sehari Main Gawai, Perlu Tiga Langkah Intervensi
Selasa, 28 Oktober 2025 | 11:00 WIB
Jakarta, NU Online
Deputi Pemenuhan Hak Anak (PHA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Pribudiarta Nur Sitepu menyoroti durasi penggunaan gawai pada anak-anak Indonesia. Berdasarkan data terbaru, anak-anak di bawah usia 17 tahun, terutama kelompok remaja, tercatat menghabiskan waktu hingga 11 jam per hari dengan gawai mereka.
Deputi Pemenuhan Hak Anak (PHA) KemenPPPA Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan angka tersebut jauh melampaui batas waktu yang direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dan psikologi anak dunia. Umumnya, penggunaan gawai untuk kegiatan non-akademik disarankan tidak lebih dari 1-2 jam per hari.
“Screen time anak-anak kita memang sudah sangat tinggi di Indonesia. Ini menjadi tanggung jawab bersama agar semua pihak, terutama orang tua, mampu memberikan pengasuhan yang baik untuk menurunkan screen time pada anak,” ujar Pribudiarta dalam acara konferensi pers di Kantor KemenPPPA, Jakarta Pusat pada Senin (27/10/2025).
Ia menjelaskan bahwa hasil kajian yang dilakukan KemenPPPA sebelum menyusun Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring menunjukkan lebih dari 11 jam penggunaan gawai per anak setiap harinya, baik untuk hiburan, media sosial, maupun aktivitas lainnya di luar kebutuhan belajar.
Pribudiarta menyampaikan bahwa panduan internasional merekomendasikan batas waktu penggunaan gawai, untuk usia 2-5 tahun, maksimal 1 jam per hari dengan konten edukatif dan pengawasan ketat. Sementara untuk usia sekolah (6-12 tahun) penggunaan maksimal 1,5-2 jam per hari, di luar kebutuhan pembelajaran daring.
Baca Juga
Amalan dan Tirakat untuk Kesuksesan Anak
Dengan durasi rata-rata mencapai 11 jam per hari, menurutnya, gawai telah mengambil alih waktu penting bagi anak, termasuk waktu tidur, belajar, berinteraksi sosial secara langsung, serta aktivitas fisik yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang optimal.
“Kondisi ini harus menjadi alarm bagi semua pihak. Anak-anak kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan mengembangkan keterampilan sosial karena terlalu lama di depan layar,” ujarnya.
Menanggapi kondisi tersebut, ia menyampaikan bahwa pentingnya kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan platform digital untuk membangun ruang digital yang sehat bagi anak. Ada tiga langkah utama yang ditekankan.
Pertama, peningkatan literasi digital keluarga. Pribudiarta menyampaikan bahwa orang tua tidak hanya perlu membatasi waktu penggunaan gawai, tetapi juga memantau jenis konten yang diakses anak, membangun komunikasi terbuka, dan membuat kesepakatan bersama terkait aturan penggunaan gawai di rumah.
Kedua, optimalisasi kontrol orang tua. Ia mengatakan bahwa perlu mendorong pemanfaatan fitur parental control di perangkat dan aplikasi untuk memblokir konten yang tidak sesuai usia anak.
Ketiga, tanggung jawab platform digital. Pribudiarta menyampaikan bahwa platform media sosial diimbau mematuhi regulasi perlindungan anak di Indonesia dan memperkuat sistem penyaringan (filtering system) terhadap konten berbahaya seperti kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian.