Antropolog Soroti Peran Agama Tawarkan Bentuk Bahasa Alternatif Atasi Krisis Kontemporer
Jumat, 2 Februari 2024 | 11:00 WIB
Antropolog Ismail Fajrie Alatas dalam Forum AICIS 2024 di UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah. (Foto: panitia AICIS 2024)
Semarang, NU Online
Antropolog dari New York University, Amerika Serikat (AS) Ismail Fajrie Alatas, memberikan pandangannya tentang peran agama dalam mengatasi krisis kemanusiaan. Ia menjelaskan, salah satu peran terpenting agama dalam mengatasi krisis kemanusiaan adalah sebagai provokasi dan pengingat, bahwa kehidupan manusia terlalu rumit untuk dipahami secara abstrak.
"Pada tingkat yang paling mendasar, menurut saya, adalah sebagai provokasi dan pengingat, bahwa kehidupan manusia terlalu rumit untuk dipahami secara abstrak," tutur Bib Aji, demikian ia akrab disapa, dalam Forum Annual International Conference of Islamic Studies (AICIS) Ke-23 tahun 2024, di UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (1/2/2024) malam.
Ia menekankan bahwa bahasa melekat pada kekhasan suatu bentuk kehidupan, dan proses penerjemahan harus melibatkan transformasi bahasa penerima.
"Penerjemahan tidak boleh menjadi penaklukan terhadap bahasa penerima, melainkan kesempatan untuk mempelajari dan memperkaya bahasa tersebut," ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya penggunaan bahasa yang abstrak untuk merekonstruksi dan membentuk kembali dunia sebagai respons terhadap krisis kontemporer yang dihadapi manusia.
"Pemahaman bahasa yang abstrak membuka pintu untuk mengatasi banyak dari krisis kontemporer yang kita hadapi saat ini," tambahnya.
Menurut Bib Aji, agama menjadikan kehidupan sebagai tanda, yaitu informasi yang dapat dihitung dan diterjemahkan. Dia menilai, Al-Qur'an selalu dapat diterjemahkan dan bukan hanya ke dalam kata-kata, tetapi ke dalam praktik-praktik dalam konteks tradisi ritual dan pendisiplinan jiwa.
"Terjemahan ini melibatkan keterbukaan pada pihak subjek yang akan dididik ke dalam dan oleh suatu seluruh tradisi. Misalnya hadits, diriwayatkan oleh Aisyah ra yang meriwayatkan perkataan tentang nabi dan dia berkata bahwa akhlak nabi adalah Al-Qur'an," terangnya.
Dalam pandangannya, tradisi tersebut menekankan pentingnya bagaimana seseorang belajar untuk hidup melalui bahasa, khususnya bahasa Al-Qur'an.
"Dalam tradisi ini, yang penting bukan sekadar apa yang dipelajari seseorang untuk diucapkan di dunia nyata ini, namun bagaimana seseorang belajar hidup di dalamnya melalui bahasa? Dalam hal ini, bahasa Al-Qur'an yang mengungkapkan titik sentral dari suatu visi yang tak terhingga. Visi tersebut, yang dimiliki oleh berbagai agama, yakni tradisi kerendahan hati," paparnya.
Sebagai informasi, AICIS 2024 mengusung tema Redefining Religion's Roles in Addressing Human Crisis: Encountering Peace, Justice, and Human Rights.
Forum yang digelar 1-4 Februari 2024 di UIN Walisongo, Semarang ini menjadi ajang pertemuan dan bertukar pikiran yang menghadirkan para tokoh akademisi dan pemuka agama dari sejumlah negara. AICIS tahun ini memiliki 25 sesi panel yang disediakan untuk mendiskusikan isu-isu yang menjadi sub tema.
Terdapat tujuh isu atau sub tema yang akan dibahas, yaitu 1) Agama, Nasionalisme, dan Kewarganegaraan di Asia Tenggara; 2) Dampak Isu dan Ketegangan Keagamaan Internasional terhadap Nasionalisme, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi Manusia; 3) Krisis Kesetaraan, keadilan, dan Kemanusiaan; 4) Ketegangan Agama dan Kemanusiaan Global; 5) Isu Gender, Spiritualitas, dan Minoritas; 6) Fiqih Siyasah tentang Perang dan Damai Pasca Kolonial; dan 7) Kebijakan berbasis Maslahah Mursalah, Kesetaraan, dan Pemberdayaan.