Penelitian oleh Rima Ronika dari Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA) Yogyakarta berjudul Corak Ajaran Tasawuf dalam Pepali Ki Ageng Selo Ditinjau dari Perspektif Hermeneutik Friedrich Daniel Ernst Schleirmacher, menyebutkan adanya aspek Psikologis.
Menurut peneliti, naskah Pepali Ki Ageng Selo yang muncul di abad ke-16 menyebabkan adanya kesenjangan waktu yang sangat jauh antara pengarang dan peneliti yang berpotensi menimbulkan jurang yang akan melahirkan kesalahpahaman. Untuk mengatasi adanya jurang pemahaman tersebut, tulis peneliti, sang pembaca harus memahami lingkup di mana teks tersebut dibuat.
Misalnya, ungkap peneliti, dalam Pepali Ki Ageeng Selo ada kata 'ati ngiwa' yang dalam bahasa Jawa diartikan dengan suka menjalankan perbuatan-perbuatan yang harus disembunyikan dari orang lain. Makna tersebut seakan sudah jelas, tetapi perlu ditelusuri kembali penggunaan dan pemaknaan kata tersebut pada waktu teks muncul. Schleiermacher mengatakan 'sebuah kata tidak pernah terisolasi, bahkan ketika berada sendiri, karena pengertiannya tidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari konteksnya'.
Penelitian yang didukung Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI tahun 2018 itu juga mengungkapkan, meskipun darah bangsawan mengalir dalam diri Ki Ageng Selo, ia lebih memilih untuk hidup sederhana sebagai seorang petani, di samping sebagai seorang panutan bagi lingkungannya sebagai seorang pemuka agama.
Selain itu, Ki Ageng Selo juga dikenal memiliki kesaktian yang luar biasa. Salah satu kesaktiannya adalah ia mampu menangkap petir. Sehingga Ki Ageng Selo juga dikenal sebagai 'Sang Penakluk Petir'. Oleh karenanya nasihat yang disampaikan melalui pepali tersebut disampaikan dengan wujud tembang macapat. Tembang macapat adalah salah satu bentuk budaya yang dekat dengan masyarakat. Penyampaian nasihat dalam bentuk macapat tersebut adalah upaya pendekatan terhadap masyarakat secara umum, sehingga ajarannya mudah diterima.
Peepali Ki Ageeng Selo mencerminkan peralihan zaman dalam keagamaan. Filsafat hidup Ki Ageng Selo dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuannya tentang agama, filsafat, dan ilmu hidup untuk memperluas pengaruhnya kepada rakyat yang sedang mengalami kegoncangan dalam pandangan hidupnya, akibat perebutan kekuasaan antara ajaran Hinduisme dan Islam. Filsafat hidup Ki Ageeng Selo, sebagai juga filsafat para Walisongo,merupakan suatu synthese dari unsur-unsur keagamaan yang dibawa oleh agama Islam dan unsur-unsur agama Hindu.
Ki Ageng Selo adalah murid dari Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sering kali memberikan wejangan kepada Ki Ageng Selo berkaitan dengan pekerjaannya, yaitu Bertani. Segala perilaku hidup dianalogikan dan kemudian dikupas makna filosofisnya, termasuk juga alat untuk bertani berwujud cangkul. Cangkul dalam Bahasa Jawa adalah pacul. Pacul terdiri dari tiga bagian, yaitu pacul, bawak, dan doran. Pacul dari kata ngipatake barang kang muncul lan mendugul, bisa diambil makna tentang membuang bagian yang tidak rata. Bahwa, sebagai manusia yang tidak rata adalah sadar sebagai manusia yang terdapat banyak dosa, oleh karenanya kita harus selalu berbuat baik yaitu dengan cara membuang hal-hal yang mendugul berwujud dosa.
Bawak adalah obahing awak alias gerakan tubuh. Ini memiliki makna filosofis bahwa sudah semestinya sebagai orang hidup harus tetap bergerak supaya memperoleh kesehatan ragawi. Lain dari itu adalah satu keniscayaan badan ini tetap bergerak untuk bekerja agar segala kegiatan duniawi mampu tercukupi. Doran didefinisikan sebagai donga marang Pangeran, yaitu berdoa kepada Tuhan. Mengkondisikan sebagai umat seharusnya meminta pertolongan kepada Tuhan, berdoa adalah salah satu medianya.
Metode pengajaran dari Walisongo sangat mempengaruhi pola pemikiran dan metode pengajaran dari Ki Ageng Selo. Budaya menjadi perhatian utama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kehidupan. Akulturasi budaya inilah yang membuat ajaran dari Ki Ageng Selo dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat, serta memiliki pengaruh yang luas di kalangan masyarakat, terutama masyarakat petani.
Metode pengajaran Ki Ageng Selo juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di mana ia tinggal, yaitu lingkungan dengan kesederhanaan masyarakat petani. Oleh karena itu, berbagai kondisi inilah yang memengaruhi corak ajaran tasawuf dari Ki Agêng Selo yang beragam.
Jika dilihat dalam penafsiran secara gramatikal, sejarah, pengaruh tasawuf terhadap sastra Jawa yang sangat kuat, serta latar belakang psikologisnya, corak tasawuf dalam Pepali Ki Ageng Selo adalah perpaduan antara tasawuf akhlaki dan tasawuf falsafi, yaitu Ki Agêng Selo sangat menekankan tentang perilaku manusia. Bagaimana manusia harus hidup dalam laku yang baik agar dapat memperoleh kebaikan baik jiwa maupun raga yang akan menghantarkannya kepada pengetahuan sejati tentang Tuhan.
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Kendi Setiawan