Bedah Hujjah KH Afifuddin Muhajir: Dari Kewajiban Taat AD/ART hingga Pentingnya Bukti Konkret
Sabtu, 13 Desember 2025 | 21:00 WIB
Dari kiri ke kanan (Ketua RMI PBNU KH Hodri Ariev, Pengurus LBM PBNU Kholili Kholil, Katib Syuriyah PBNU Gus Nadhif, Pengurus RMI Muhammad Iqbal dalam Halaqah Membedah Hujjah KH Afifuddin Muhajir di PBNU, Sabtu (13/12/2025) (Foto: Afrilia Tristara/NU Online)
Jakarta, NU Online
Wakil Rais Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir merilis dokumen enam poin hujjah syar'i berjudul "Pemberhentian Ketua Umum PBNU oleh Lembaga Syuriyah: Dalam Timbangan Syariat Islam."
Dokumen tersebut menjadi dasar diskusi dalam halaqah bertajuk "Membedah Hujjah KH Afifuddin Muhajir" yang digelar oleh Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Sabtu (13/12/2025).
Acara yang dihadiri oleh Ketua PBNU KH Miftah Faqih dan Ketua RMI PBNU KH Hodri Ariev ini bertujuan mengkaji secara mendalam hujjah Kiai Afif, yang menggunakan perspektif ushul fiqih. Forum ini menghadirkan dua penanggap utama, yaitu Pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU Kholili Kholil dan Katib Syuriyah PBNU KH Ahmad Nadhif Abdul Mujib.
Kiai Afifuddin Muhajir, dalam enam poinnya, memberikan landasan syar’i bagi keputusan Syuriyah PBNU yang menjelaskan bahwa tindakan memberhentikan KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU adalah upaya penyelamatan organisasi
Nahdlatul Ulama.
Pada poin pertama, Kiai Afif memposisikan Rais Aam dan Lembaga Syuriyah sebagai ulil amri (pemegang otoritas) dalam organisasi, yang keputusannya mengikat dan wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan syariat utama.
Pada poin kedua tertulis keputusan diambil berdasarkan bayyinah qath’iyyah (bukti pasti) atas pelanggaran serius yang mencoreng nama baik NU. Kiai Afif menuliskan kaidah اليَقِينُ لَا يَزَالُ بِالشَّكِ (keyakinan tidak bisa hilang dengan keraguan) dan menepis upaya peraguan (tasykik) dari pihak luar.
Poin berikutnya, keputusan meminta KH Yahya Cholil Staquf mundur sebagai Ketua Umum PBNU diyakini sebagai pilihan terbaik demi menghindari mafsadah (kerusakan) yang lebih besar yang mengancam eksistensi jam’iyyah, sesuai kaidah:
إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا (memilih yang paling ringan dari dua kerusakan).
Mengenai poin-poin tersebut, Pengurus LBM PBNU Kholili Kholil memberikan perspektif lain yang berfokus pada kedudukan AD/ART sebagai kewajiban syar’i dan pentingnya bukti konkret (tahqiqul manath).
Kholili memiliki perspektif lain terkait prinsip yang menyebut ketaatan kepada Rais Aam berada di atas AD/ART. Menurut Kholili, AD/ART adalah al-‘aqd (perjanjian) yang mengikat dan wajib ditaati secara syar’i.
"Menaati perintah Rais ‘Aam yang melanggar AD/ART adalah haram karena AD/ART adalah kesepakatan ‘aqd bersama dalam berorganisasi yang wajib ditaati secara syar’i. Melanggar AD/ART adalah wujud naqdl lil ‘ahd," ujar Kholili.
Ia menambahkan, dalam konflik pasal, harus didahulukan pasal yang lebih khusus sesuai kaidah الْخَاصُّ مُقَدَّمٌ عَلَى الْعَامِّ.
Melalui perspektif tersebut, pasal yang mengatur penggantian mandataris hanya lewat muktamar harus didahulukan dari pasal yang bersifat umum mengenai Rais Aam sebagai pemimpin tertinggi.
Kholili kemudian menyoroti poin kedua dari Hujjah Kiai Afif mengenai bayyinah qath’iyyah dengan menuntut peran ahlul khubrah (pakar). Ia mempertanyakan keabsahan bukti pelanggaran tanpa konsultasi dengan ahli, terutama di bidang non-fiqih, seperti keuangan atau politik internasional.
"Para ulama fiqih tidak boleh mengambil kesimpulan apa pun soal ini sebelum berkonsultasi dengan ahlul khubrah (yang berperan dalam) tahqiqul manath," jelasnya, merujuk pada pandangan Imam As-Syathibi.
Kemudian, ia juga memberikan sudut pandangnya terhadap poin keempat Hujjah Kiai Afif mengenai pemilihan mafsadah (kerusakan) yang lebih ringan.
Menurut Kholili, mafsadah yang dikhawatirkan (ancaman eksistensi) masih bersifat madzunnun (praduga), sementara mafsadah yang timbul akibat pemakzulan, seperti buntunya program dan perpecahan sudah muhaqqaq (nyata terjadi).
"Mafsadat yang nyata (muhaqqaq) harus lebih dulu dihindari daripada mafsadat yang praduga (madznun)," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Katib Syuriyah PBNU, KH Ahmad Nadhif Abdul Mujib (Gus Nadhif), pada prinsipnya membenarkan semua Hujjah Kiai Afifuddin.
Namun, ia memberikan catatan korektif melalui kaidah الْحُكْمُ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ (menentukan status hukum atas sesuatu adalah cabang dari pemahaman atas persoalan).
Terkait poin pertama dari Hujjah Kiai Afif, Gus Nadhif mengomentari bahwa Rais Aam bukan pemegang kepemimpinan absolut.
"Kurang tepat jika Rais Aam memegang kepemimpinan absolut seperti dalam sebuah negara," komentarnya. Ia menunjukkan bahwa dalam Peraturan Perkumpulan, selalu ada diksi "Rais Aam bersama-sama Ketua Umum," menunjukkan kepemimpinan yang bersifat musytarak (bersama).
Mengenai poin kedua dari Kiai Afif (Alyaqin laa yuzalu bisysyakk), Gus Nadhif merefleksikan apakah keyakinan itu sudah tepat disebut sebagai kesepakatan kolektif. Ia merujuk pada diksi "tampaknya" dalam paragraf poin satu hujjah yang mengindikasikan bahwa keyakinan bersama belum tercapai.
"Majelis Aston (sebuah forum internal) belum mencapai kata sepakat apalagi yakin. Jadi, di manakah keyakinan itu?" tanyanya retoris.
Senada dengan Kholili, menanggapi poin keempat hujjah Kiai Afif, Gus Nadhif memaparkan pentingnya mengukur secara pasti jenis dlarar (bahaya) yang dihadapi, yaitu apakah mauhum (diduga) atau muhaqqaq (nyata).
Ia menyebut dugaan adanya TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) sebagai contoh mauhum yang memerlukan kejelasan dari ahli hukum.
Pada akhir sesi halaqah, Gus Nadhif berpesan, “kalau kalam kita ini berarti itu hanya sebatas perak, tetapi fassukutu min adz dzahab (diam adalah emas).”