Bertemu Hal Susah di Dunia, Kiai Miftach: Jangan Heran, Ini Tempat Ujian!
Sabtu, 17 Juni 2023 | 20:30 WIB
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar saat Ngaji Syarah Al-Hikam di Aula Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya, Jawa Timur, Jumat (16/6/2023). (Foto: YouTube Multimedia KH. Miftachul Akhyar)
Surabaya, NU Online
Hampir semua yang ada di dunia isinya ujian dan cobaan. Hanya sedikit tetesan kesenangan. Tetapi, kesenangan juga merupakan ujian. Sebab, ujian bukan hanya berupa kesengsaraan, namun juga kesenangan. Maka, jangan heran jika bertemu hal-hal menyusahkan di dunia, karena dunia tempat ujian.
Hal tersebut diungkapkan oleh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar pada pertemuan ke-38 Ngaji Syarah Al-Hikam di Aula Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya, Jawa Timur, Jumat (16/6/2023).
“Jangan anggap aneh. Ojo gumun, jangan heran, kalau kalian ketemu hal-hal yang menyusahkan, merisaukan, keruwetan selama ada di dunia ini, karena apa? Memang dunia ini tempatnya ruwet,” ujar Kiai Miftah dalam YouTube Multimedia KH. Miftachul Akhyar dilihat NU Online, Sabtu (17/6/2023).
Ia menjelaskan bahwa kejadian-kejadian yang dialami manusia di dunia seperti susah dan senang merupakan sifat yang telah mulazamah, yaitu merupakan hal yang lazim, yang tetap.
“Jadi, kalau kita menyadari hidup di dunia ini adalah memang untuk diuji, maka kita akan tahan pukul, tahan banting. Tidak akan menganggap aneh kejadian apapun, baik yang menyenangkan atau yang menyusahkan,” terangnya.
Lebih lanjut, Kiai Kiai Miftach mengungkapkan, jika menyadari hal tersebut maka akan menjadi mukmin yang kuat, tahan mental, tahan banting, tidak kagetan, dan tidak marahan.
“Jika ketemu orang senang, nggak usah marah. Rezeki tetangganya kok banyak, nggak usah marah. Memang di situ ujian. Atau sebaliknya ada konglomerat bangkrut, kemarin pegang uang milyaran, triliunan sekarang sudah nggak punya apa-apa, jangan terkejut, jangan heran. memang dunia seperti itu,” ungkapnya.
“Cepat sekali perputaran dunia ini, roda dunia ini cepat, senang susah, senang susah itu roda kehidupan,” sambung Kiai Miftach.
Pengasuh Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya tersebut menjelaskan, meskipun susah dan senang itu isi dunia, tetapi harus dipersiapkan agar tidak jadi kagetan. Sebab, orang kagetan atau orang syok itu berbahaya. Jika secara lahir bisa menjadi penyakit jantung.
“Kita sudah melaksanakan ketaatan, menjauhi larangan, kok nggak ketemu dengan hal-hal menyenangkan. Bagi orang mukmin yang sudah tahu isi dunia nggak akan kaget, karena yakin pasti ketemu nanti di akhirat. Kalau di dunia itu hanya cipratannya, fadlun minallah, tidak memenuhi 1 persennya pembalasan yang disediakan oleh Allah,” terangnya.
Kiai Miftach mengingatkan agar umat Islam tidak sampai mengejar yang bukan sampai 1 persen lalu lupa kepada yang 100 persen, yaitu di akhirat.
“Bagi orang yang sudah mengaji, yang sudah mempersiapkan diri untuk tidak menjadi manusia kagetan, hidupnya tenang. Senang, nggak terkejut. Susah, nggak kaget. Stabil hidupnya,” ungkapnya.
“Bahkan kalau orang hidupnya stabil, yang namanya penyakit jantungan, penyakit yang bahaya-bahaya seperti stroke dan lain sebagainya nggak pernah dekat-dekat, wong nggak pernah kaget,” tambah Kiai Miftach.
Ia berpesan bahwa kita harus menjadi orang mukmin yang kuat dan andal, yaitu orang mukmin yang memang tahu di dunia ini adalah tempatnya ujian. Jangan mengharapkan kesenangan. Jika bertemu dengan kesenangan, menganggapnya bukan hakikat pembalasan.
Jika kita menganggapnya sebagai pembalasan, sejatinya tidak cukup dibalas di dunia. Bisa jadi dihapus oleh Allah karena kita menganggapnya sebagai balasan. Kita harus yakin terhadap pembalasan allah. Sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, pasti dibalas. Sebaliknya, sekecil apapun pembalasan pasti dibalas.
“Kalau ini sudah menjadi keyakinan tidak akan ada orang mendzalimi orang lain, tidak ada orang melecehkan orang lain, karena sekecil apapun dia ketemu balasannya. Jadi, ini pegangan, pegangilah. Jangan menganggap aneh apa yang terjadi. Kesenangan-kesenangan bukan dijanjikan di dunia, cuman itu anugerah Allah,” pungkasnya.
Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Musthofa Asrori