Nasional

Bom Waktu Perundungan, Tekanan Psikologis Korban Bullying Bisa Memuncak Jadi Tindakan Ekstrem

Sabtu, 15 November 2025 | 21:30 WIB

Bom Waktu Perundungan, Tekanan Psikologis Korban Bullying Bisa Memuncak Jadi Tindakan Ekstrem

Ilustrasi perundungan (bullying). (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Peristiwa ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta mengguncang dunia pendidikan Indonesia. Insiden yang diduga berkaitan dengan kasus perundungan ini membuka kembali perbincangan mendalam mengenai keamanan psikologis siswa di sekolah.

 

Di tengah sorotan publik, Konselor Profesional Universitas Negeri Semarang (UNNES), Muslikah memberikan penjelasan komprehensif tentang bagaimana perundungan yang tidak tertangani dapat berubah menjadi “bom waktu” yang berujung pada tindakan ekstrem.


“Jadi istilah bom waktu itu sendiri menggambarkan bahwa dampak perundungan kadang memang tidak selalu langsung terlihat tetapi terakumulasi perlahan dalam diri korban,” kata Muslikah kepada NU Online pada Jumat (14/11/2025).


Dosen yang menjabat Kepala Program Studi Pendidikan Profesi Konselor UNNES itu menyampaikan empati mendalam kepada seluruh pihak terdampak. Ia menegaskan bahwa tragedi ini harus menjadi momentum refleksi bersama untuk memahami akar persoalan dan memperkuat sistem perlindungan psikologis di satuan pendidikan.


Menurut Muslikah, istilah “bom waktu” bukan sekadar metafora, melainkan representasi nyata dari bagaimana luka emosional korban perundungan terus menumpuk tanpa mendapatkan intervensi berarti. Meski tidak menampakkan dampak segera, luka tersebut menyimpan tekanan psikologis yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi perilaku ekstrem.


“Jadi bom waktu ini bukan soal peristiwa tunggal melainkan sebenarnya adalah hasil dari akumulasi berbagai pengalaman negatif yang memang tidak tertangani dengan baik.


Ia menjelaskan bahwa proses psikologis yang dialami korban perundungan dapat berkembang menuju perilaku-perilaku tragis apabila tidak ditangani dengan tepat. Menurutnya, penting untuk memahami bagaimana seorang siswa yang pada dasarnya masih polos bisa sampai melakukan tindakan ekstrem seperti melakukan pemboman di sekolahnya sendiri.


Ia menekankan bahwa korban perundungan umumnya melewati sejumlah fase psikologis, dan fase-fase inilah yang harus dikenali sejak awal. Jika tidak diintervensi dengan baik, fase tersebut dapat berubah menjadi luka psikologis yang berbahaya dan berpotensi “meledak”.


Lima Fase Psikologis Korban Perundungan

Muslikah memaparkan bahwa korban perundungan umumnya mengalami proses psikologis bertahap. Masing-masing fase membawa risiko yang berbeda, dan tanpa penanganan yang memadai dapat mengarah pada perilaku tragis.

 
  1. Fase Luka Emosional. Pada tahap awal, korban mulai merasakan ketakutan, rasa malu, dan kehilangan harga diri. Emosi negatif ini akan bertahan lama bila korban tidak memperoleh dukungan emosional.
  2. Fase Internalisasi Negatif. Ini adalah fase ketika korban mulai mempercayai hinaan pelaku, seperti “kamu tidak berharga” atau “kamu tidak berguna.” Pesan-pesan merendahkan itu meresap ke dalam diri sehingga menurunkan self-esteem serta memicu pikiran-pikiran otomatis yang negatif. Korban akhirnya ikut meyakini bahwa dirinya memang tidak berharga.
  3. Fase Isolasi. Tidak lagi percaya pada siapapun, korban menarik diri dari lingkungan. Ia merasa sendirian menghadapi tekanan, sehingga semakin menjauh dari bantuan.
  4. Fase Distorsi Kognitif. Pola pikir korban menjadi kacau. Ia mulai salah menafsirkan keadaan, menyalahkan diri secara berlebihan, atau mencari cara-cara ekstrem untuk keluar dari penderitaan. Pada fase ini, pikiran sudah berada dalam level berbahaya bila tidak segera ditemukan dan ditangani.
  5. Fase Krisis. Ini adalah puncak tekanan ketika korban dapat bertindak impulsif, agresif, atau mengambil tindakan berisiko tinggi. Dalam beberapa kasus, termasuk yang mencuat di media, tindakan itu dapat berupa perilaku yang membahayakan diri sendiri maupun lingkungan seperti ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta. Perilaku tragis bukan muncul tiba-tiba. Ada proses panjang yang tidak tertangani secara tepat.


Efektivitas Layanan Konseling di Sekolah

Muslikah mengungkapkan layanan konseling di sekolah atau di lingkungan pendidikan akan sangat efektif asal bisa memenuhi beberapa syarat berikut.


1. Peran Guru BK Sering Tersandera Administrasi. Menurut Muslikah yang pertama adalah konselor atau guru BK memiliki akses yang mudah ke siswa, tidak dibatasi oleh tugas-tugas administratif.


“Jadi BK sebagai sahabat siswa dengan jurus BK yang sekarang sedang diarahkan bagaimana guru BK bisa memberikan bantuan untuk bisa mengelola emosi, bantuan untuk bisa mengajarkan empati sehingga program BK ini tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga bersifat preventif dan developmental,” ucapnya.


2. Minimnya Kolaborasi dan Stigma terhadap Konseling. Menurut Muslikah, program BK tidak boleh berdiri sendiri. Ia memerlukan kolaborasi dengan guru mata pelajaran, wali kelas, stakeholder atau manajemen sekolah, dan orang tua. “Tanpa kolaborasi, siswa segan datang ke ruang konseling karena takut di-stigma,” jelasnya.


Jika guru BK diberi ruang kerja profesional dan bekerja secara preventif—tidak sekadar reaktif—maka banyak kasus bullying dapat terdeteksi sejak dini dan dicegah sebelum menjadi krisis.


Muslikah menilai kapasitas personal konselor sekolah sebenarnya sudah baik dan profesional. Namun, persoalan muncul pada aspek struktural seperti jumlah konselor yang tidak sebanding dengan banyaknya siswa, serta sistem pelaporan yang belum aman bagi korban.


Akibatnya, banyak kasus tidak terungkap. Lebih parah lagi, sebagian perilaku bullying kerap dianggap candaan atau kenakalan biasa.


“Inilah yang mengkhawatirkan. Banyak remaja menganggap candaan yang menyakitkan itu hal wajar, padahal sudah mengarah ke bullying,” katanya.


Perlu Ada Deteksi Dini

Ia menekankan perlunya deteksi dini oleh seluruh komponen sekolah, pendokumentasian yang jelas, pendidikan anti-perundungan yang sistemik, pembentukan kader anti-bullying.


Muslikah menegaskan bahwa tidak semua korban bullying akan bertindak ekstrem, tetapi tekanan psikologis berat dapat menjadi faktor risiko.


Tekanan itu melahirkan rasa tidak berdaya akut, keinginan membalas, atau ketidakmampuan mengatur emosi. Ketika korban tidak memiliki tempat aman untuk bercerita, ia dapat terjebak pada pikiran irasional dan keputusan ekstrem.


“Kebutuhan untuk merasa kembali memiliki kontrol bisa muncul secara salah arah. Terlebih bila ia bertemu komunitas yang salah,” jelasnya.


Dalam kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta, Muslikah menduga adanya pengaruh komunitas ekstrem yang memvalidasi tindakan kekerasan sebagai bentuk balas dendam atas perundungan.


“Ini bukan pembenaran perilaku pelaku, tetapi penjelasan psikologis mengapa tekanan berat dapat bermetamorfosis menjadi tindakan berbahaya,” katanya.


Langkah Mencegah Dampak Serius Perundungan

Muslikah merinci beberapa langkah kunci yang wajib dilakukan sekolah agar perundungan tidak berkembang menjadi persoalan psikologis serius:

 
  1. Deteksi Dini & Pelaporan Aman. Sekolah wajib memiliki mekanisme pelaporan yang aman, cepat, dan anonim. Kotak aduan, kanal aduan daring, atau kader anti-bullying harus tersedia dan mudah diakses.
  2. Penguatan Layanan Konseling. Guru BK harus diberikan ruang kerja profesional dengan asesmen yang dilakukan secara reguler. Inovasi seperti sosiometri anti-bullying dapat digunakan untuk memetakan relasi sosial siswa. Intervensi bisa berupa konseling individual, konseling kelompok, bimbingan kelompok, psikoedukasi anti-bullying. Program tidak boleh hanya kuratif tetapi juga preventif.
  3. Kolaborasi Sekolah–Orang Tua. Orang tua harus dilibatkan sejak awal untuk memahami perubahan perilaku anak dan dunia pergaulannya. Parenting rutin sangat diperlukan.
  4. Membangun Iklim Sekolah yang Ramah dan Inklusif. Budaya sekolah harus menjunjung empati, saling menghargai, dan keberanian membela teman yang di-bully. Candaan yang menyakitkan harus dibedakan dari bercanda biasa.
  5. Pendampingan Emosional bagi Korban dan Pelaku. Pelaku bullying juga membutuhkan pendampingan emosional karena perilaku agresif sering berakar dari masalah pribadi.
  6. Pendidikan Anti-Perundungan Berkelanjutan. Bukan hanya workshop musiman, tetapi program kontinu dalam kurikulum sosial emosional.
  7. Pengawasan Ekosistem Digital. Banyak bullying terjadi di media sosial. Sekolah dan orang tua harus bekerja sama mengawasi penggunaan media digital siswa.
  8. Penguatan Sarpras Keamanan. CCTV di titik strategis dan pengawasan area rawan dapat membantu pencegahan dini.
  9. Muslikah mengingatkan bahwa sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat memiliki peran yang sama pentingnya dalam mencegah perundungan.


“Semoga apa yang saya sampaikan bermanfaat dan bisa menjadi pembelajaran untuk semua pihak agar kita bisa sama-sama untuk membangun sekolah yang aman dan sehat bagi semuanya. Saya juga perlu menegaskan bahwa setiap anak itu berhak untuk merasa dilihat, untuk merasa didengar, dan untuk merasa dilindungi,” tandas Muslikkhah.