Jakarta, NU Online
Ekonom Nahdlatul Ulama (NU) Jaenal Effendi mengungkapkan, merosotnya nilai tukar rupiah imbas dari pengetatan moneter yang dilakukan bank sentral AS, The Fed.
Teranyar pada Juni 2022, The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps demi meredakan inflasi yang mengganas di AS, yang sudah tembus 8,6 persen.
“Adanya sentimen kenaikan suku bunga The Fed, AS, kemudian didukung juga oleh adanya inflasi domestik dalam negeri membuat nilai tukar rupiah kian merosot,” kata Jaenal saat dihubungi NU Online via telepon, Rabu (6/7/22).
Ia menerangkan, kenaikan suku bunga merupakan langkah terbaru The Fed untuk meredam inflasi terburuk yang dihadapi AS selama 40 tahun terakhir. The Fed bertujuan mengembalikan tingkat inflasi sebesar 2 persen dari 8 persen lebih yang terjadi saat ini.
“Mereka menaikkan suku bunga banknya ini karena inflasi yang tinggi, bulan kemarin kenaikan indeks harga konsumen (CPI) mencapai 8,6 persen sehingga mereka menaikkan suku bunganya,” terang Ketua Lembaga Perekonomian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LP PBNU) periode (2015-2020) itu.
Kenaikan suku bunga The Fed juga, menurutnya, rentan diikuti kenaikan tingkat suku bunga di negara berkembang. Tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap menghadapi kenaikan bunga pinjaman.
“Dan ini akan diikuti oleh negara-negara lain,” ujarnya.
Dampaknya, kata dia, larinya aliran modal dari negara berkembang termasuk Indonesia ke AS, yang memungkinkan terjadinya capital outflow di mana rupiah akan semakin melemah.
“Yang lebih fundamental lagi, adanya ketidakpastian ekonomi global ini membuat para investor dalam negeri menarik modalnya dan keluar,” katanya lagi.
Selanjutnya, inflasi dari luar negeri naik akibat membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi. Situasi ini, menurut Jenal, dipicu oleh indeks harga perdagangan besar terutama komoditas-komoditas impor yang mengalami peningkatan persisten, seperti tepung terigu dan pupuk urea.
“Ketika bahan-bahan itu masih impor maka kita akan terdampak oleh harga-harga internasional,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, indeks dolar mengalami kenaikan 8,7 persen secara year-to-date menjadi ke level 104,6. Beban biaya produksi terutama bagi perusahaan yang bahan bakunya bergantung pada impor dapat berisiko melemahkan PMI manufaktur.
“Imbasnya proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansinya,” jelas Jaenal.
Akan tetapi, tambah dia, kekuatan nilai tukar, tidak hanya dapat ditentukan oleh faktor global namun juga fundamental ekonomi suatu negara. Pemerintah perlu menyiapkan berbagai macam strategi, salah satunya dengan menaikkan tingkat suku bunga untuk antisipasi pelemahan nilai tukar rupiah. Dalam hal ini Bank Indonesia mempunyai kewenangan terhadap kebijakan moneter.
“Jadi, bank Indonesia punya peran penting untuk bisa mengontrol kondisi ini, apakah suku bunga perlu dinaikkan atau menyediakan opsi lain agar tidak nilai rupiah tetap aman,” imbuh dia.
Sebagai informasi, pada Selasa kemarin, rupiah ditutup melemah 22 poin atau 0,15 persen ke posisi Rp14.994 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.972 per dolar AS.
Terbaru, pada Rabu (6/7/2022) pagi ini kurs rupiah dilaporkan melemah hingga menembus Rp15.001 per dolar AS.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Syamsul Arifin