Nasional

Catatan Sejarah dan Masyarakat Negari Bayur 

Rabu, 16 Oktober 2019 | 12:45 WIB

Catatan Sejarah dan Masyarakat Negari Bayur 

Danau Maninjau (Foto: infofotografi.com)

Jauh sebelum alam Minangkabau berubah menjadi sebuah negeri, konon katanya nenek moyang mereka tinggal di sebuah gunung berapi yang masih dikelilingi oleh hutan belantara. Hingga abad ke-17 datanglah orang-orang dari Pagaruyung, mereka mendirikan teratak-teratak yang kemudian berubah menjadi dusun atau perkampungan. 

Saat zaman penjajahan, Belanda menggabungkan seluruh kampung yang ada menjadi satu, tujuannya jelas untuk memperluas daerah jajahan mereka. 
 
"Para penghulu dari seluruh kampung yang ada dikumpulkan, kemudian mereka mengangkat penghulu kepala dengan syarat harus dari keturunan raja Minangkabau. Pertemuan para penghulu ini disebautkan terjadi di Lubuk Gadung, yang secara kebetulan saat itu banyak ditumbuhi pohon Kayu Bayur, dari situlah nama Nagari Bayua berasal," demikian tulis Rahmi dalam laporan penelitiannya yang bejudul Penguatan Ekonomi Kreatif Ramah Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal dalam Penyelamatan dan Pelestarian Danau Maninjau di Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Masjid Raya Nagari Bayur Maninjau Sumatera Barat tahun 2018.
 
Penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018 merupakan bentuk realisasi dari program peningkatan mutu pengabdian dengan jenis program pendampingan masyarakat berbasis masjid.
 
Rahmi juga menyebutkan, masyarakat Minangkabau memiliki prinsip hidup yang sangat luhur. Prinsip hidup ini selalu dipegang dan menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan. Prinsip yang terkenal adalah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, artinya adat yang bersendikan syariat, syariat yang bersendikan kitab suci.
 
Prinsip itu lahir selepas terjadinya Perang Paderi lewat sebuah perjanjian yang disepakati oleh tigo tungku sajarangan atau tiga unsur pemegang kekuasaan tradisional masyarakat Minang yaitu niniak mamak (pemuka adat), alim ulama, dan cadiak pandai (cendekiawan). Perjanjian tersebut terkenal dengan nama 'Sumpah Setia di Bukit Marapalam'.
 
Dengan berpegang teguh pada prinsip tersebut itulah roda Pemerintahan Nagari dijalankan. Dalam kehidupan bermasyarakat, mereka juga memegang teguh prinsip dari Dt Parapatiah nan Sabatang yaitu kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakaik, yang berarti keputusan tertinggi yang ada di nagari.
 
Bayua adalah mufakat, setiap permasalahan yang timbul dalam masyarakat selalu diselesaikan dengan cara mufakat. Main hakim sendiri bukanlah gaya hidup orang Minang pada umumnya dan khususnya Nagari Bayua. Masyarakat Nagari Bayua juga masih melestarikan upacara-upacara adat yang sudah ada secara turun temurun, seperti adat turun mandi bagi anak yang baru lahir, adat akiqah, adat sunat Rasul, adat nikah kawin, adat batagak gadang/batagak pangulu pada saat pengangkatan penghulu adat yang baru.
 
Selain itu ada juga yang disebut dengan 'Permainan Anak Nagari' yaitu budaya kesenian yang tetap ada walaupun mulai tergerus oleh arus globalisasi sekarang ini, seperti kesenian tambur/gandang, kesenian randai, kesenian silek/pencak silat, dan kesenian tari.
 
Lebih jauh Rahmi mencatat, nagari yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya ini telah menjalankan praktik demokrasi sejak lama, hal ini bisa dilihat pada tahun 1952 mereka telah mengadakan pemilihan Kepala Desa, dan sejak tahun 2002 dimulainya pemilihan wali nagari atau masyarakat sering menyebut sebagai Babaliak Ka Nagari. 
 
Nagari Bayua juga menjadi nagari yang memiliki daerah terluas di Kecamatan Tanjung Raya, memiliki 10 Jorong yakni Jorong Kampung Jambu, Jorong Sungai Rangeh, Jorong Panji, Jorong Jalan Batuang, Jorong Sawah Rang Salayan, Jorong Pincuran Tujuah, Jorong Lubuak Kandang, Jorong Banda Tangah, Jorong Lubuk Anyia, Jorong Kapalo Koto dan terdapat 44 penghulu 
dengan kebesaran gelar-gelar yang sampai sekarang menjadi pesukuan turun temurun. Terdiri dari enam pesukuan yaitu Suku Guci, Pili, Caniago, Tanjung, Koto dan Melayu.
 
Penulis: Kifayatul Akhyar
Editor: Kendi Setiawan