Nasional

Cerita Ferry Shofiana, Penyuluh Agama yang Mendidik Anak-Anak Pemulung di Kolong Jalan Tol

Senin, 20 Oktober 2025 | 12:00 WIB

Cerita Ferry Shofiana, Penyuluh Agama yang Mendidik Anak-Anak Pemulung di Kolong Jalan Tol

Ferry Shofiana bersama anak-anak didiknya di Rumah Penyuluhan Kreatif, kolong jalan Tol Andara, Jakarta. (Foto: dok. pribadi/Ferry)

Jakarta, NU Online

Ferry Shofiana (50), penyuluh agama di KUA Setiabudi, Jakarta Selatan, setiap hari hadir untuk mendidik dan mendampingi anak-anak di Rumah Penyuluhan Kreatif (RPK) yang terletak di bawah kolong Jalan Tol Andara, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. Di tempat sederhana itu, ia mengajar, membimbing, dan menemani anak-anak para pemulung untuk belajar mengenal huruf, angka, dan doa.


Dari niat sederhana itu lahirlah RPK, ruang belajar, bermain, dan bertumbuh bagi anak-anak kampung pemulung di kolong jalan tol. Dari tempat inilah, Ferry menyalakan harapan bagi mereka yang sering terlupakan dan tidak terlihat. Baginya, kegiatan mendampingi warga di kampung pemulung bukan sekadar program sosial, melainkan panggilan hati.


“Saya hanya ingin memberikan sesuatu, sekecil apa pun, selama masih ada kesempatan,” ujarnya lirih sambil tersenyum, kepada NU Online.


Kisah Ferry bermula ketika ia menjadi relawan di sebuah komunitas sosial yang melakukan pembinaan di lapak pemulung sekitar Jakarta Selatan. Pengalaman itu membuka matanya terhadap berbagai persoalan sosial di balik tumpukan rongsokan: anak-anak putus sekolah, keluarga dengan pengamalan agama yang minim, dan kebiasaan mengemis yang diwariskan turun-temurun.


“Waktu itu saya berpikir, kalau terus ikut kegiatan orang lain, artinya saya hanya mengikuti visi mereka. Saya ingin mencari tempat dan mengelolanya sendiri,” kenangnya.

Bersama beberapa teman, Ferry mulai mencari lokasi hingga akhirnya menemukan lapak di kolong Tol Andara. Tempatnya sangat sederhana, hanya berupa bedeng bekas. Namun dari situlah ia menyalakan suluh kecilnya.


Pada awalnya, hampir tidak ada anak-anak yang datang. Namun, Ferry tetap bertahan. Ia mendatangi satu per satu rumah warga, mengajak anak-anak belajar dan bermain. Lama-kelamaan, jumlah mereka bertambah.


“Tempatnya dulu tidak nyaman, tapi dari situ pelan-pelan kami bikin semacam kelas semi permanen, dan anak-anak makin banyak.”


Seiring waktu, kegiatan kecil itu tumbuh menjadi komunitas belajar bernama Rumah Penyuluhan Kreatif. Di sana, Ferry tidak hanya mengajarkan huruf hijaiyah, tetapi juga huruf abjad, calistung (baca, tulis, hitung), serta pendidikan moral dan keagamaan bagi anak-anak maupun orang tua mereka.


Kini, RPK memiliki tiga program utama yaitu kelas PAUD, kelas calistung, dan kelas sekolah paket. Kegiatan belajar diadakan empat kali seminggu dan melibatkan banyak relawan, termasuk mahasiswa dari berbagai kampus yakni UIN, UI, Atma Jaya, dan Unindra.


“Sekarang banyak banget yang mau kolaborasi, sehingga kami buat formulir Google agar jadwal kegiatan tidak tumpang tindih,” jelasnya.


RPK juga menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga, salah satunya Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) yang mendukung kegiatan pendidikan selama enam bulan terakhir. Berkat dukungan itu, anak-anak di bawah tol kini bisa belajar komputer, akuntansi dasar, dan keterampilan hidup sederhana.


Pendidikan dan harapan dari lapak pemulung

Kegiatan di RPK tidak hanya berfokus pada anak-anak. Ferry juga membuka kelas parenting bagi para orang tua dan memberikan pendampingan rohani bagi masyarakat sekitar. Ia percaya, perubahan harus dimulai dari keluarga.


“Saya selalu awali kegiatan dengan pengajian dan pembinaan agama. Karena bagi saya, kunci kemajuan itu dua: bisa membaca dan punya pegangan iman,” ucapnya.

Dari kegiatan sederhana itu, lahir kisah-kisah luar biasa. Salah satunya adalah Seti, anak binaan Ferry yang kini kuliah di jurusan Akuntansi Universitas Pamulang. Selain Seti, ada pula anak-anak lain yang melanjutkan pendidikan di pesantren. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi relawan kecil, membantu mengajar adik-adik di RPK.


“Waktu SMA, Seti kami biayai penuh di pesantren. Setelah lulus, dia bilang mau kuliah, dan alhamdulillah bisa kami bantu. Saya ingin mereka jadi generasi penerus di sini,” tutur Ferry.


Sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Kementerian Agama, Ferry memaknai penyuluhan sebagai jembatan antara pembangunan dan nilai-nilai spiritual masyarakat.


“Penyuluh itu kan penyambung pembangunan lewat bahasa agama, kita hadir untuk menuntun, bukan menggurui,” tegasnya.


Ferry bukan tipe orang yang gemar menampilkan kegiatannya di media sosial. Namun sejak 2020, ia mulai membagikan aktivitas RPK lewat Instagram dan Facebook. Langkah kecil itu membawa dampak besar: banyak relawan, donatur, dan kampus akhirnya mengenal dan menjangkau RPK.


“Dengan membagikan kegiatan positif, saya berharap orang lain juga tergerak untuk berbuat. Kini, setiap pekan RPK menerima berbagai kunjungan sosial, mulai dari mahasiswa, komunitas, hingga lembaga yang ingin berkolaborasi. Beberapa kali, kegiatan kami juga dikunjungi pejabat kementerian,” jelasnya.

Selain pendidikan, RPK kini membuka layanan pengobatan gratis setiap Senin. Program ini hasil kerja sama dengan komunitas lansia yang ingin berbagi kemampuan medisnya. Ada pula kegiatan pemberian sembako dua minggu sekali dari komunitas sosial Bantu 1000.


Ketika ditanya tentang momen paling berkesan selama lebih dari sepuluh tahun mendampingi warga pemulung, Ferry menuturkan kisah Alvin, anak pemulung yang kini menjadi sosok inspiratif karena prestasinya hingga bisa berkuliah di UGM.


“Saya suka cerita ke anak-anak, tidak ada yang mustahil. Anak pemulung pun bisa jadi orang besar kalau mau berusaha. Momen paling berkesan itu ketika anak-anak semangat belajar,” katanya pelan.


“Saya suka lihat mereka punya cita-cita. Mereka ingin jadi sesuatu, padahal hidup mereka sederhana. Tapi semangatnya besar,” lanjutnya.


Harapan Ferry sederhana yaitu tidak ada lagi anak Indonesia yang buta huruf. Baginya, kunci dari semua kegiatan sukarela ini adalah konsistensi dan ketulusan niat, mengingatkan diri untuk kembali pada tujuan awal setiap kali lelah.


“Indonesia sudah merdeka lebih dari 80 tahun. Namun, masih banyak anak-anak yang belum menikmati kemerdekaan itu. Semoga cerita anak-anak putus sekolah cukup sampai di generasi ini,” ungkapnya.

Bagi Ferry, keberadaan Rumah Penyuluhan Kreatif bukan sekadar tempat belajar, melainkan bentuk kecil dari hadirnya negara di tengah masyarakat. Ia percaya, sekecil apa pun usaha seseorang dapat menjadi bagian dari pembangunan bangsa.


“Kalau masih punya kesempatan, waktu, dan niat, jangan tunda untuk berbuat. Mungkin kita hanya mengajarkan alif, ba, ta. Tapi siapa tahu dari situ lahir seorang hafiz (penghafal Qur'an) atau guru besar. Tidak ada yang sia-sia dari kebaikan,” pungkasnya.