Dampak kenaikan PPN 12 Persen: Gen Z Tak Bisa Menabung hingga Alami Gangguan Kesehatan Mental
Kamis, 19 Desember 2024 | 16:30 WIB
Jakarta, NU Online
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang mulai berlaku pada 2025 diperkirakan akan memberikan dampak signifikan bagi generasi Z, terutama dalam hal pengelolaan keuangan pribadi mereka.
Gen Z diprediksi bisa mengalami sejumlah persoalan di masa depan, mulai dari tak bisa menabung, terjebak utang, hingga mengalami gangguan kesehatan mental.
Menurut hasil penelitian terbaru dari Center of Economic and Law Studies (Celios), generasi yang dikenal sebagai motor konsumsi rumah tangga ini harus menghadapi lonjakan pengeluaran sebesar Rp1.748.265 per tahun akibat kenaikan tarif pajak tersebut.
"Kenaikan pengeluaran ini cukup signifikan bagi generasi muda yang masih berada dalam tahap awal karier mereka. Dalam jangka waktu sebulan, kenaikan ini dapat mempengaruhi anggaran pribadi mereka secara langsung," tulis Celios dalam laporannya bertajuk PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah, dikutip NU Online, Kamis (19/12/2024).
Angka tersebut mungkin tampak kecil dalam konteks pengeluaran bulanan yang lebih besar, tetapi bagi banyak Gen Z yang baru memulai karier dan kehidupan mandiri, beban tambahan ini cukup terasa.
Jika dilihat dalam jangka panjang, kenaikan selisih tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per tahun sebesar Rp1.748.265 membuat lebih mencolok dan memerlukan perencanaan keuangan yang matang untuk menghadapinya.
"Selain itu, kenaikan ini dapat mempengaruhi pola konsumsi mereka yang berpotensi menyebabkan perubahan signifikan dalam perilaku keuangan dan ekonomi secara keseluruhan," tulis laporan tersebut.
Penelitian Celios mengidentifikasi respons yang kemungkinan diambil oleh Gen Z terkait dengan kenaikan PPN 12 persen.
Pertama, beberapa di antaranya mungkin akan tetap berbelanja barang yang dikenai PPN namun mengandalkan pinjaman atau utang yang berisiko terjebak dalam perilaku pemborosan karena kecewa masa depan atau doom spending.
Kedua, sebagian Gen Z beralih ke barang dan jasa dengan harga lebih rendah serta mengadopsi gaya hidup lebih hemat atau frugal living.
Ketiga, mereka mungkin akan berbelanja di ritel informal, thrifting, atau melalui jasa titip (jastip) untuk menghindari pajak.
"Perubahan perilaku konsumsi yang dilakukan Gen Z akan merugikan rasio pajak, menyuburkan sektor informal, dan membuat Gen Z terjebak utang dalam jangka panjang. Bonus demografi berubah menjadi bencana demografi," tulis laporan itu.
Dampak pada pengelolaan keuangan pribadi
Celios menyebut, kenaikan pengeluaran sebesar Rp1,75 juta per tahun mempengaruhi pengelolaan anggaran bulanan Gen Z. Pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan, hiburan, dan transportasi akan meningkat secara terus-menerus. Gen Z harus mencari cara untuk mengatur keuangan dengan lebih bijaksana. Mereka (Gen Z) harus menyesuaikan gaya hidup atau prioritas pengeluaran mereka.
"Ini bisa berdampak pada keputusan mereka dalam hal konsumsi barang dan jasa, seperti mengurangi frekuensi berlangganan layanan streaming atau menghindari pengeluaran untuk hiburan yang tidak terlalu penting," tulis Celios.
Selain itu, kenaikan biaya hidup ini dapat mengurangi kemampuan mereka untuk menabung atau berinvestasi. Dengan pengeluaran tambahan hampir Rp1,75 juta per tahun, banyak Gen Z yang mungkin kesulitan untuk menyiapkan dana untuk tujuan jangka panjang, salah satunya membeli rumah atau pensiun.
"Ini menjadi tantangan tersendiri, karena bagi banyak dari mereka, menabung dan merencanakan masa depan finansial adalah hal yang penting," tulis Celios.
Risiko makroekonomi dan ketidaksetaraan sosial
Dari sisi makroekonomi, penurunan daya beli Gen Z yang disebabkan kenaikan PPN 12 persen dapat memperlambat perekonomian secara keseluruhan, terutama sektor yang bergantung pada konsumsi.
Jika banyak dari mereka yang berpenghasilan terbatas atau baru memasuki dunia kerja, mereka akan mengurangi pengeluaran untuk barang dan jasa yang dianggap tidak esensial.
Fenomena ini, menurut laporan Celios, jika terjadi pada skala yang lebih luas bisa mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Sebab menurunnya daya beli bisa menyebabkan perlambatan dalam sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi, antara lain ritel dan hiburan.
"Kenaikan biaya hidup yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan ini juga dapat memperburuk ketidaksetaraan sosial, mengingat tidak semua kelompok di Gen Z memiliki akses yang sama terhadap pekerjaan atau peluang ekonomi yang baik," demikian laporan Celios.
Dari segi kesehatan mental, gen Z juga berpengaruh. Celios melaporkan dalam jangka panjang, kenaikan pengeluaran yang mencapai Rp1,75 juta per tahun dapat berdampak pada kepuasan hidup Gen Z. Mereka akan merasa semakin terbebani dengan biaya hidup yang semakin tinggi, tanpa adanya kenaikan pendapatan yang signifikan.
Hal ini bisa mempengaruhi kesehatan mental mereka karena ketidakpastian ekonomi dan kekhawatiran tentang masa depan finansial, sehingga menjadi sumber gangguan kesehatan mental atau mental illness.
"Oleh karena itu, penting bagi Gen Z untuk mulai merencanakan keuangan mereka dengan lebih bijak, mengutamakan tabungan, investasi, dan mencari sumber pendapatan tambahan untuk mengatasi dampak dari inflasi dan kenaikan harga barang yang terus berlanjut," tulis laporan tersebut.