Dampak Kenaikan PPN 12%: Rumah Tangga Miskin, Rentan, dan Menengah Sama-Sama Terhimpit
Kamis, 19 Desember 2024 | 11:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pemerintah berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Rencana kenaikan tarif PPN 12% mulai 1 Januari 2025 dinilai berdampak bagi seluruh lapisan masyarakat khususnya bagi rumah tangga miskin, kelompok rentan miskin, dan kelompok menengah.
Berdasarkan laporan dari Center of Economic and Law Studies (Celios) kelompok miskin diperkirakan akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp101.880 per bulan atau Rp1.222.566 per tahun akibat kenaikan PPN.
"Kenaikan pengeluaran ini berpotensi mengurangi tabungan mereka atau bahkan memaksa mereka untuk mengurangi kualitas konsumsi sehari-hari," tulis Celios dalam laporanya bertajuk PPN 12%: Pukululan Telak Bagi Gen Z dan Masyarakat Menengah Bawah [PDF] dikutip NU Online.
Dijelaskan, sebagian besar pengeluaran rumah tangga miskin telah dialokasikan untuk kebutuhan pokok sehingga tambahan biaya ini bisa memengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.
"Bagi sebagian keluarga miskin pengeluaran tambahan ini bisa menjadi beban yang sangat berat, mengingat penghasilan mereka yang terbatas dan ketergantungan pada barang-barang pokok yang kini semakin mahal," tulis laporan itu.
Celios melaporkan pengaruh kenaikan PPN ini nantinya akan terasa di lapisan paling bawah masyarakat yang sering kali kesulitan menghadapi perubahan harga yang cepat.
Tak hanya itu, kelompok rentan miskin yang memiliki penghasilan sedikit lebih tinggi daripada kelompok miskin namun masih jauh dari kesejahteraan juga merasakan dampak negatif dari kenaikan PPN. Laporan tersebut memperkirakan mereka akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp153.871 per bulan atau Rp1.846.455 per tahun.
"Kenaikan pengeluaran ini mengurangi kemampuan mereka untuk menabung atau berinvestasi untuk masa depan, baik itu untuk pendidikan anak atau peningkatan keterampilan. Di tengah peningkatan biaya hidup, mereka terpaksa mengurangi konsumsi barang atau jasa yang sebelumnya dianggap penting, seperti pendidikan atau asuransi kesehatan," tulisnya.
Kelompok ini juga seringkali berada di ambang batas antara miskin dan menengah, sehingga setiap tambahan biaya yang tidak terduga bisa mempersulit keadaan mereka. Tanpa adanya jaringan pengaman sosial yang memadai, banyak dari mereka yang berisiko jatuh kembali ke dalam kemiskinan.
Pengeluaran yang lebih besar ini juga mengurangi kemampuan mereka untuk menabung atau menginvestasikan dana untuk masa depan, baik itu untuk pendidikan anak atau peningkatan keterampilan.
"Ketika biaya hidup meningkat, mereka terpaksa mengurangi konsumsi barang atau jasa lain yang sebelumnya dianggap penting, seperti pendidikan atau asuransi kesehatan," tulisnya.
Sementara itu, bagi rumah tangga menengah meskipun mereka memiliki daya beli yang lebih baik, kenaikan PPN tetap membawa dampak negatif terhadap pola konsumsi mereka. Kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan atau Rp4.251.522 per tahun mengurangi daya beli mereka.
"Pengeluaran tambahan ini meskipun lebih kecil dibandingkan kelompok miskin, tetap mempengaruhi pengeluaran mereka untuk barang-barang non-esensial, seperti hiburan, perjalanan, dan barang-barang mewah," tulis laporan tersebut.
Celios juga melaporkan bahwa buruh dengan gaji tetap juga akan merasakan dampak signifikan dari kenaikan PPN. Misalnya, buruh dengan penghasilan Rp5 juta per bulan, yang mengalokasikan sekitar Rp4.500.000 untuk kebutuhan dasar, diperkirakan akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp357.000 per bulan akibat kenaikan PPN dan inflasi.
Perhitungan menunjukkan bahwa pengeluaran buruh akan meningkat sebesar Rp229.500 per bulan, yang terdiri dari Rp45.000 akibat kenaikan PPN dan Rp184.500 akibat inflasi. Total dampak kenaikan PPN dan inflasi terhadap pengeluaran buruh selama setahun adalah sekitar Rp2.754.000.
Hal ini akan mengurangi daya beli buruh yang penghasilannya masih tergolong rendah dan mereka mungkin harus menyesuaikan anggaran bulanan mereka dengan mengurangi konsumsi barang tertentu, termasuk makanan, atau bahkan terjebak dalam pinjaman online (pinjol).
Inflasi Memperburuk Kondisi
Inflasi yang terjadi bersamaan dengan kenaikan PPN, sebesar 4,1 persen semakin menambah beban rumah tangga terutama kelompok miskin dan rentan miskin. Inflasi menyebabkan harga barang-barang pokok seperti pangan dan energi, meningkat semakin memperburuk daya beli mereka. Bagi rumah tangga miskin dan rentan miskin yang sebagian besar pengeluarannya sudah teralokasi untuk kebutuhan dasar, setiap kenaikan harga menjadi beban tambahan yang berat.
Kelompok kaya, dengan daya beli yang jauh lebih besar, mungkin hanya merasakan sedikit dampak dari kenaikan PPN, sementara kelompok miskin dan rentan miskin merasakan dampak yang jauh lebih besar.
"Ketimpangan ekonomi ini berpotensi semakin memperlebar jurang sosial, dengan kelompok kaya tetap mampu mempertahankan kualitas hidup mereka, sementara kelompok miskin semakin terdesak."
Pemerintah mengklaim bahwa uang pajak yang terkumpul dari kenaikan PPN akan dialokasikan untuk berbagai program sosial. Kenyataannya, sebagian besar dana yang terkumpul justru akan digunakan untuk membayar bunga utang pemerintah. Dalam anggaran negara, proporsi besar dari penerimaan pajak akan dialokasikan untuk pembayaran bunga utang, yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun.
Menurut data dari Nota Keuangan APBN 2025 dan keterangan Kementerian Keuangan, utang jatuh tempo tahun 2025 diproyeksi mencapai Rp800,33 triliun, dengan pembayaran bunga utang sebesar Rp552 triliun.
"Artinya, meskipun penerimaan pajak meningkat, sebagian besar uang tersebut akan digunakan untuk memenuhi kewajiban utang, bukan untuk pembiayaan langsung program-program untuk kesejahteraan rakyat," tulis laporan tersebut.