Wasekjen PBNU, H Abdul Mun’im DZ, saat menjadi pemateri sarasehan: Meneladani Mbah Wahab, Membangkitkan Spirit Perjuangan lewat Tulisan. (Foto: NU Online/Syamsul Arifin)
Jombang, NU Online
Sebelum lagu Ya Lal Wathan bisa dikenal dan dinyanyikan oleh khalayak seperti sekarang, ternyata menyimpan sejarah perjuangan. Lagu ini adalah syair yang disusun oleh salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Wahab Chasbullah sedari lebih dari setengah abad lamanya.
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, H Abdul Mun’im DZ, mengaku punya kiprah penting di balik lagu tersebut sebelum akhirnya resmi menjadi mars NU. Dalam perkembangannya, lagu ini tidak hanya dilantunkan warga NU di berbagai acara formal, tetapi juga oleh pihak luar.
"Saya yang mengangkat lagu Ya Lal Wathan itu. Terus terang saya. Itu kan syair Kiai Wahab yang lama terpendam kira-kira 70 tahun yang lalu," katanya saat menjadi pembicara sarasehan: Meneladani Mbah Wahab, Membangkitkan Spirit Perjuangan lewat Tulisan oleh PWI Jombang, Jawa Timur, di Pendopo Pemkab setempat, Rabu (17/3).
Kiai Mun'im, sapaan akrabnya mengemukakan, sejumlah tokoh NU saat itu berpandangan bahwa organisasi Islam terbesar di Indonesia itu harus punya mars yang menggambarkan nilai-nilai perjuangan NU semenjak berdiri.
"Setelah kita cari-cari ketemulah lagu Ya Lal Wathan ini. Lalu kita cari aransemen paling baik. Akhirnya, jadilah lagu Ya Lal Wathan yang sekarang ini," tuturnya.
Tidak cukup sampai di situ, ia kemudian mencari seniman andal yang bisa mengaransemen lagu tersebut menjadi asyik didengar dan mudah dihafal, sehingga masyarakat tidak kesulitan memahami lirik sekaligus artinya.
"Dan sekarang jadi terkenal. Tidak hanya di NU sendiri, tapi juga militer, instansi, sampai gereja-gereja melantunkan lagu Ya Lal Wathan itu," ungkap Kiai Mun'im.
Di berbagai kesempatan saat menjadi pembicara kegiatan, Kiai Mun'im mengaku seringkali memperkenalkan lagu tersebut agar kian dikenal masyarakat luas. "Alhamdulillah saya mempromosikan lagu itu. Dan insyaallah sebentar lagi menjadi lagu kebangsaan," ujarnya.
Penulis buku Benturan NU-PKI 1948-1965 itu lebih jauh menambahkan, kurang lebih 10 tahun terakhir ini dia meneliti kiprah Mbah Wahab sekaligus keliling dunia menyampaikan pemikiran-pemikirannya untuk ditawarkan menjadi solusi berbagai persoalan yang terjadi di dunia, terutama di bidang politik, keagamaan, dan kebangsaan.
Pewarta: Syamsul Arifin
Editor: Musthofa Asrori