Di Hadapan Menteri, Ustadzah Mumpuni: Jika Manusia Dihargai dari Badannya, Silakan Bersaing dengan Sapi
Ahad, 23 Oktober 2022 | 13:05 WIB
Ustadzah Mumpuni Handayayekti saat mengisi tausiah pada malam Shalawat Kebangsaan, puncak peringatan Hari Santri 2022.
Jakarta, NU Online
Bagi santri, martabat manusia dihargai karena harga dirinya terletak pada adabnya. Harga jidat manusia karena ada ilmunya, harga bibir manusia karena ada zikirnya. Harga hati manusia karena ada imannya.
Pesan tersebut disampaikan Ustadzah Mumpuni Handayayekti saat mengisi tausiah pada malam Shalawat Kebangsaan, puncak peringatan Hari Santri 2022, yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama, Sabtu (22/10) malam, di JIEXPO Convention Centre and Theatre Kemayoran, Jakarta.
Shalawat Kebangsaan ini merupakan malam puncak Peringatan Hari Santri 2022. Hadir, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi, jajaran Kementerian Agama, dan ribuan santri.
Ustadzah Mumpuni mengumpamakan, jika manusia dihargai sebab badannya, ternyata hewan juga mempunyai harga, contohnya hewan sapi. Semakin gemuk badannya, semakin mahal harganya. Hal ini berarti harga seokar sapi terletak di dagingnya.
“Sebaliknya, ada hewan yang tidak punya daging, tapi lebih mahal dibanding harga sapi. Contoh burung perkutut yang tidak mempunyai daging. Berarti harga seekor perkutut tidak terletak pada dagingnya, melainkan terletak pada suaranya,” jelasnya di hadapan ribuan hadirin dari berbagai kalangan.
“Lalu di manakah letak harga manusia? Apakah dari dagingnya? Jika dihargai karena badannya, mohon maaf, silakan bersaing dengan sapi. Entah yang gemuk atau kurus, jangan berpikir saya body shaming, ternyata Kanjeng Nabi Muhammad mengangkat harkat martabat manusia,” sambung ustadzah kondang asal Cilacap ini.
Ustadzah Mumpuni mengutip sabda Nabi Muhammad yang menjelaskan tentang martabat manusia di hadapan Allah:
إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
Hadis ini, lanjut Ustadzah Mumpuni, ternyata Allah menilai manusia bukan dari harga bentuk rupanya, melainkan Allah melihat dari martabat hati nurani dan amal ibadahnya.
"Maka hari ini di malam puncak Hari Santri 2020, Kiai Anwar Zahid diundang karena ilmunya. Gus Azmi dan Syubbanul Muslimin karena pandai membaca shalawat,” ujar penceramah perempuan yang dikenal dengan gaya bicara ngapak ini.
Ia menerangkan, santri tidak mempunyai pondasi itu seperti toge yang sifatnya tidak mengetahui duduk perkar dan asal mengikut saja. “Ada bakso, tego ngikut. Ada bakwan, toge ngikut. Ada soto, toge ngikut. Sampai-sampai, ada tahu isi, toge ngikut. Maka, yang namanya santri harus punya pondasi,” terangnya.
Ustadzah muda ini mengutip pendapat Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dalam kitab Nurul Burhani bahwa santri merupakan irsyadun nas, yaitu pemimpin di hari depan.
Dalam kitab ini disebut, lanjut Ustadzah Mumpuni, santri harus mempunyai tiga landasan ilmu. Pertama, ilmul ‘ulama, yaitu ilmu dari para ulama, seperti Nahwu, Shorof, Fikih, Tasawuf Tauhid, Tafsir, dan lain sebagainya.
“Kedua, siyasatul mulki, harus mempunyai ilmu politik dan pemerintahan. Santri jangan hanya paham fiqih, tetapi juga harus mau belajar dan melek teknologi, dan tahu dengan apa yang terjadi di negara. Jika tidak tahu ilmu politik, maka bersiaplah akan menjadi boneka permainan orang-orang yang ikut berpolitik kotor,” tuturnya.
Agar seimbang, tambah Ustadzah Mumpuni, maka santri harus mempunyai ilmu yang ketiga, hikmatul hukama, yaitu ilmu hikmah. “Santri biasa puasa dalail, puasa Senin-Kamis, dan shalat malam. Ilmu ini supaya bisa menjadi pemimpin di santri masa depan,” tegas Ustadzah Mumpuni.
Kontributor: M Zidni Nafi'
Editor: Zunus Muhammad