Nasional

Ditanya Pilpres 2024, Ketum PBNU: Kita Terbuka

Sabtu, 5 November 2022 | 18:15 WIB

Ditanya Pilpres 2024, Ketum PBNU: Kita Terbuka

Tangkapan layar Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam tayangan Satu Meja Kompas TV, Kamis (3/11/2022).

Jakarta, NU Online
Sebagai sebuah organisasi besar, Nahdlatul Ulama (NU) mulai dilirik para politisi menuju pemilu presiden 2024. Berbagai pengamat politik mulai mengincar capres atau cawapres dari Nahdlatul Ulama.


Demikian kata presenter program Satu Meja Kompas TV Budiman Tanuredjo kepada Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf, yang menjadi tamunya. Kemudian jurnalis senior itu melempar pertanyaan, bagaimana sikap terhadap kelompok-kelompok yang ingin agar NU masuk dalam bursa capres dan cawapres.


"Ya, kita sih terbuka saja. Silakan, semua orang berhak untuk menjadi calon. Tapi kita tidak mau NU ini diperalat sebagai senjata politik," jawab Gus Yahya, sapaan akrabnya dalam tayangan Eksklusif Gus Yahya Jelaskan Sikap Politik NU Jelang 2024 diakses NU Online, Sabtu (5/11/2022).


Kiai yang pernah mengemban amanah sebagai Juru Bicara Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu mengkhawatirkan prosesnya, jika NU masuk terlalu dalam pada politik praktis. Sedangkan soal hasil, pihaknya bisa menerima siapa saja yang jadi presiden, asalkan menang pemilu.


"Karena dalam proses itu kalau kita biarkan ada satu kampanye konsolidasi politik NU, itu berarti kan kita harus mengeksklusi orang yang dianggap bukan NU, dengan melihatnya sebagai musuh, sebagai lawan," ia memberi alasan.


Gus Yahya memahami kompetisi politik dapat meruncing sampai tingkat yang tidak terkendali. Hal ini, sambungnya, berbahaya baik bagi NU sendiri maupun bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. 


"Kita sudah buktikan selama ini bahwa keterlibatan yang terlalu jauh itu justru berisiko menciptakan pembelahan di dalam NU sendiri," terangnya.


Budiman kembali mengejar: "Bagaimana kalau ada kader-kader NU yang ingin dipinang menjadi capres atau cawapres artinya boleh, tapi tidak membawa-bawa NU atau gimana?"


"Silakan, pertaruhkan kredibilitas masing-masing, kredibilitas politik masing-masing. Kita ingin mengajak semua orang untuk lebih rasional di dalam berpolitik. Jadi bahwa lepas NU atau tidak NU. Kalau memang dia punya kredibilitas politik yang unggul, ya mari kita dukung, kalau tidak ya tidak didukung, tanpa harus mengukur apa siapa yang lebih NU, siapa yang kurang NU," jelas Gus Yahya.


Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang, itu, menjelaskan, sudah menjadi keputusan muktamar-muktamar, bahwa NU harus mengambil jarak dari semua partai politik. 


"Bahwa NU dulu pernah membentuk PKB, pengurus-pengurus NU pernah membentuk PKB, itu satu hal lain. Dan kita biarkan itu menjadi catatan sejarah. Tapi tetap NU harus mempertahankan posisi yang sama dengan semua partai politik yang ada," terangnya.

 

Kepemimpinan NU di bawah Gus Yahya juga melarang oknum menggunakan NU sebagai institusi atau organisasi untuk keperluan politik politik praktis. Ia mengaku tidak akan memberikan arahan terkait politik kekuasaan. Bahkan beberapa waktu yang lalu, pihaknya menegur pengurus cabang yang berkampanye di kantor NU, untuk tidak diulangi lagi.


"Kalau sebagai pribadi masing-masing mau terlibat, silakan. Mau jadi tim sukses dengan mengandalkan jaringan pribadi, terserah. Tapi institusi NU tidak boleh," tegasnya.


Gus Yahya menjelaskan, jika ada kader NU sebagai pribadi ingin mengikuti kontestasi politik praktis maka ia harus mundur terlebih dahulu dari kepengurusan. Menurutnya, hal itu sudah diatur secara rinci. Misalnya pengurus harian NU tidak boleh merangkap pengurus harian partai. Tetapi kalau dia, misalnya, menjadi aktivis partai, boleh saja jadi pengurus, asalkan bukan pengurus harian di partai atau organisasi politik lain.


"Kalau dia sudah jadi pengurus dan kemudian ingin menjadi calon dalam kompetisi politik yaitu presiden atau gubernur dan lain-lain, harus mundur dulu," ucapnya.


Gus Yahya mengupayakan kantor-kantor NU yang begitu banyak benar-benar steril dari kegiatan politik kekuasaan dengan cara konsolidasi organisasi. Hal itu dilakukan untuk mencegah menggunakan NU sebagai alat politik praktis.


Kontributor: Ahmad Naufa
Editor: Kendi Setiawan