Nasional

Dokter Jelaskan Risiko Medis pada Praktik Sunat Perempuan

Senin, 3 November 2025 | 14:00 WIB

Dokter Jelaskan Risiko Medis pada Praktik Sunat Perempuan

Dokter spesialis kebidanan dan kandungan Lady Rovyanda dalam kegiatan Sosialisasi dan Penandatanganan Komitmen Pencegahan Praktik Sunat Perempuan untuk Kabupaten Bekasi yang digelar di Hotel Ibis Style Cikarang, Bekasi, Senin (3/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Bekasi, NU Online

Dokter spesialis kebidanan dan kandungan, Lady Rovyanda, menjelaskan bahwa praktik sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis dan justru dapat menimbulkan dampak kesehatan yang serius, baik jangka pendek maupun jangka panjang bagi perempuan.


“Dampak sunat perempuan itu sendiri antara lain perdarahan, gangguan buang air kecil, gangguan menstruasi, infeksi, komplikasi saat melahirkan, dan kematian bayi baru lahir,” ujarnya dalam kegiatan Sosialisasi dan Penandatanganan Komitmen Pencegahan Praktik Sunat Perempuan untuk Kabupaten Bekasi yang digelar di Hotel Ibis Style Cikarang, Bekasi, Senin (3/11/2025).


Lady menyampaikan bahwa salah satu bentuk sunat perempuan yang paling sering dilakukan ialah pemotongan sebagian klitoris. Padahal, klitoris merupakan pusat saraf dan pembuluh darah yang sangat penting bagi perempuan.


Ia menerangkan bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan komplikasi langsung seperti rasa nyeri hebat, pembengkakan, perdarahan, demam, serta gangguan buang air kecil. Dalam jangka panjang, perempuan yang disunat dapat mengalami gangguan kesehatan reproduksi, termasuk munculnya kista pada organ genital akibat proses pemotongan yang tidak higienis.


“Saya pernah menangani pasien berusia 40 tahun yang datang dengan kista di klitoris. Setelah ditelusuri, ternyata ia memiliki riwayat disunat saat kecil. Ini menunjukkan efek jangka panjang yang bisa muncul puluhan tahun setelah tindakan dilakukan,” ungkapnya.


Lady menegaskan bahwa praktik sunat perempuan tidak membawa manfaat medis apa pun dan justru meningkatkan risiko komplikasi serius seperti perdarahan, infeksi, gangguan menstruasi, hingga kematian bayi baru lahir.


“Dari sisi medis, tidak ada manfaat kesehatan dari sunat perempuan. No health benefit, only harms,” tegasnya.


Ia juga memaparkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mencatat lebih dari 230 juta perempuan di 31 negara, terutama di wilayah Afrika Timur dan Asia Timur, telah menjalani praktik sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM). Setiap tahun, lebih dari 4 juta anak perempuan diperkirakan masih berisiko mengalami praktik tersebut.


“Sayangnya, Indonesia dan Mesir tercatat sebagai dua negara dengan tingkat prevalensi FGM tertinggi di dunia menurut penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2023,” ujarnya.


Melihat dampak dan angka prevalensi yang masih tinggi, Lady menekankan pentingnya peran tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, dan lembaga pendidikan dalam upaya pencegahan.


“Kita harus bersama-sama mengedukasi masyarakat bahwa sunat perempuan bukan tradisi yang menyehatkan, melainkan praktik berbahaya yang merampas hak kesehatan dan tubuh perempuan,” pungkasnya.


Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Fatayat NU dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dalam mendorong penghentian praktik sunat perempuan di berbagai wilayah Indonesia.