Empat Mandat Perempuan dalam Dakwah menurut Nyai Badriyah Fayumi
Ahad, 5 Desember 2021 | 23:30 WIB
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) PBNU, Nyai Hj Badriyah Fayumi mengatakan, perempuan bukan sekedar jenis kelamin yang berbeda dengan lelaki. Lebih dari itu, perempuan memiliki empat mandat dalam dakwah sehingga harus mendapat perhatian yang sama layaknya lelaki.
“Pertama, dalam dakwah perempuan memiliki kedudukan sebagai subjek dakwah (adda’iyah). Sayangnya, dalam hal ini secara kuantitatif para da’iyah masih lebih sedikit dibanding para da’i,” kata Nyai Badriyah saat didapuk menjadi narasumber pada Annual Meeting of Islamic Dakwah (AMID) yang diselenggarakan secara daring oleh cariustadz.id beberapa waktu lalu.
Kedua, perempuan menjadi objek dakwah (al-mad’u). “Ini sudah lekat sekali dalam kehidupan kita. Banyak para audience perempuan menjadi peserta pengajian baik di majelis-majelis ta’lim, pesantren, maupun sekolah, dan pelbagai tempat lainnya yang mengisi majelis dakwah,” ujar Nyai Badriyah saat membawakan materi bertajuk Dakwah Islam dan Perubahan Masyrakat Era Digital.
Sebagai objek dakwah, tambah jebolan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir itu, perempuan perlu diperkuat melalui literasi digital untuk memahami dakwah rahmatan lil 'alamin. Tentunya, ulama perempuan memiliki kaitan yang sangat erat akan keberadaan dakwah yang ramah perempuan.
“Dari sinilah ulama perempuan menjadi entitas yang signifikan. Karena ulama perempuan adalah aktor utama dari subjek, objek, tema, dan perespektif dalam dakwah yang akan saya jelaskan selanjutnya,” terang Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat itu.
Ketiga, lanjut Nyai Badriyah, perempuan sebagai perspektif. Karena banyak sekali problematika kehidupan perempuan jika para da’i daiyah mau mengulik hal tersebut. Keempat atau terakhir, perempuan sebagai tema dakwah.
Klasifikasi Tema Dakwah
Nyai Badriyah Fayumi mengklasifikasi tema dakwah menjadi tiga bagian. Pertama, tema khusus perempuan. “Tema ini tidak bisa ditarik oleh lelaki kecuali ia menjadi bagian kemanusiaan yang memiliki pengetahuan dan bersama-sama mewujudkan kemaslahatan dan keadilan perempuan,” tuturnya.
Contoh dalam tema ini, kata Nyai Badriyah, yaitu kesehatan reproduksi perempuan, seperti haid, nifas, istihadhah. Intinya bagian dari karakter biologis perempuan.
“Kedua, tema yang sifatnya relasi antara lelaki dan perempuan, seperti relasi antara suami istri, parenting sebagai orang tua yang keduanya sama-sama mengurus anak, relasi kehidupan sosial di dunia publik, dan sebagainya,” beber pengasuh Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits Pondokgede, Kota Bekasi ini.
Menurut perempuan kelahiran Pati itu, tema terakhir bersifat umum. Tema ini sebetulnya universal terkait kemaslahatan hidup manusia secara umum. Namun, perempuan sering terlupakan seperti halnya isu-isu tentang pendidikan, ekonomi, politik, kesehatan, lingkungan hidup, dan teknologi.
“Memang betul adanya, terkadang masalah-masalah untuk kemaslahatan perempuan ini tidak terpikirkan. Contoh saja dalam hubungan relasional antara suami dan istri. Yang terjadi dipemukaan adalah hubungan yang sangat mendiskriminasi perempuan sehingga berpotensi pada kekerasan rumah tangga,” paparnya.
“Begitu juga dalam tema umum, jika perempuan tidak hadir sebagai perspektif, kita akan gagal melihat satu kebijakan, kita akan gagal merumuskan fatwa, tafsir keagamaan atau fiqih Islam yang memberikan keadilan rahmah dan ramah bagi laki-laki dan perempuan,” sambung Nyai Badriyah.
Oleh karena itu, perempuan sebagai tema, baik yang sifatnya khusus, relasional, maupun umum, sudah seharusnya mengambil peran dan tempat di dunia dakwah.
Agenda penting
Nyai Badriyah mengatakan, ada empat agenda penting yang harus dikawal oleh ulama perempuan sebagai ikhtiar penyempurnaan dakwah rahmah dan ramah perempuan dalam tiga dekade terakhir (1990-2020).
Pertama, penguatan kapasitas ulama perempuan secara sistematis. “Kedua, pelibatan ulama perempuan dalam setiap kegiatan dan platformdan dakwah digital,” terangnya.
Ketiga, pengadaan dan penguatan situs-situs dakwah yang menjadikan perempuan dalam empat posisi (yang sudah diterangkan di muka). Kemudian tersebar luas dalam kerangka perwujudan Islam rahmatan lil ‘alamin yang mengintegrasi visi keislaman, kemanusiaan, kebangsaan, dan kesemestaan.
“Keempat, penguatan jejaring dakwah dengan pelibatan ulama perempuan sebagai aktor yang terlibat dalam setiap proses kerja. Pelibatan ini tidak hanya diujung musyawarah. Akan tetapi, dalam proses perencanaan, desain program, tema, serta pendekatannya,” tambahnya.
Oleh karena itu, mengakhiri halaqah tersebut, Nyai Badriyah berpesan kepada para audience agar ulama perempuan bergerak tidak hanya di media sosial. Namun, mereka bisa bergerak di ruang nyata dan melakukan edukasi, dakwah, pendampingan, juga pemberdayaan perempuan di ruang-ruang komunitas yang bersentuhan langsung dengan grassroot (akar rumput).
Acara tersebut merupakan salah satu program yang menjadi prioritas cariustadz.id berupa pelatihan bagi da’i da’iyah dengan menghadirkan para ulama moderat dan narasumber ahli di bidangnya.
Kontributor: A Rachmi Fauziah
Editor: Musthofa Asrori