Nyai Hj Badriyah Fayumi (berbaju hijau) dalam sebuah acara Balitbang Diklat Kemenag. (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)
Ali Musthofa Asrori
Kontributor
Jakarta, NU Online
Pengasuh Pesantren Mahasina Kota Bekasi, Nyai Hj Badriyah Fayumi, mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) tidak mengancam ketahanan keluarga. RUU tersebut justru menguatkan keluarga yang sakinah dan maslahah.
Nyai Badriyah menegaskan hal itu di akun Facebook pribadinya, Badriyah Fayumi, Ahad (29/8/2021) pagi. “Siapa bilang UU Penghapusan Kekerasan Seksual itu mengancam ketahanan keluarga. Justru sebaliknya, UU PKS yang dirumuskan secara tepat, cepat, implementatif tanpa multitafsir dan solutif akan menjadi benteng keluarga agar anggotanya tidak menjadi korban, apalagi pelaku kekerasan seksual, terlebih menjadi pelaku dan korban sekaligus,” tegasnya.
Perempuan asal Pati, Jawa Tengah, ini mengaku sedih, pilu, dan ngilu mendengar cerita dan derita keluarga yang anaknya menjadi korban kekerasan seksual. Apalagi pelakunya justru ayah, kakak atau pamannya sendiri. “Atau isteri yang dipaksa melakukan huseks penuh kekerasan dan tidak manusiawi oleh suaminya,” tulis Nyai Badriyah.
Ia mengatakan, keluarga yang terdapat kekerasan seksual di dalamnya tentu terganggu kesakinahannya. Goyah ketahanannya. Sebab, di dalam keluarga tersebut terdapat masalah besar yang menghilangkan kemaslahatan dalam keluarga itu sendiri. Selain itu, juga menjadi penghambat keluarga tersebut memberikan maslahah bagi masyarakat dan lingkungan sosialnya.
Menurut salah satu Wakil Ketua LKK PBNU ini, dalam ketiadaan payung hukum yang memberikan perlindungan secara komprehensif seperti saat ini, banyak keluarga yang anggota keluarganya menjadi korban mengalami depresi dan frustrasi. Sebab, upaya mereka dalam mencari keadilan atas tragedi yang mereka mengalami menemui jalan terjal dan buntu alias tidak mendapat akses pemulihan.
“Keluarga yang anggotanya menjadi pelaku juga tidak tahu harus bagaimana melangkah yang tepat agar pelaku mendapatkan rehabilitasi dan keluarga besar tidak terdampak oleh stigma sosial,” tutur putri KH A Fayumi Munji Kajen, Margoyoso, Pati ini.
“Apalagi keluarga yang di dalamnya ada pelaku sekaligus korban, lebih bingung dan tertekan lagi, antara memproses secara hukum atau menutupnya dan selamanya menjadi aib, masalah, dan beban yang merusak harmoni keluarga. (Kondisi ini) melahirkan suasana api dalam sekam, kebencian dan depresi yang tidak berkesudahan,” tegasnya.
Salah satu inisiator Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ini menambahkan, data korban kekerasan seksual hampir menembus 300 ribu orang yang mengadu ke Komnas Perempuan pada 2020. Dari keterangan Wakil Menteri Hukum dan HAM, dari 3000-an kasus yang bisa diproses hukum kurang dari 150. “Betapa susahnya keadilan buat korban,” sesalnya.
Tak bisa didiamkan
Oleh karena itu, alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini menegaskan, fakta tersebut tidak bisa didiamkan. KUHP yang hanya bicara sanksi pidana tidak cukup. Begitu pula UU PKDRT, UU PTPPO, dan UU Perlindungan Anak masih perlu dilengkapi dengan UU-PKS yang mengatur secara lengkap penghapusan kekerasan seksual ini.
“Mulai pencegahan, pemidanaan, pendampingan, dan pemulihan korban dan keluarganya, rehabilitasi pelaku dan keluarganya, serta hukum acara yang spesifik, yang bisa menjamin korban mendapatkan keadilan dan pemulihan, juga keluarganya,” urainya.
Nyai Badriyah menambahkan, hukum acara pidana juga membantu keluarga pelaku untuk berani berterus terang. Karena ada jaminan untuk bebas dari ketakutan dan keterpurukan akibat proses hukum yang dialami salah satu anggota keluarganya yang menjadi pelaku.
Jenis-jenis atau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang nyata ada membawa madharat, dan belum tertampung di seluruh UU yang ada, lanjut dia, perlu masuk semua. Ia mempersilakan para ahli merumuskan agar saat diimplementasikan nanti tidak multitafsir, tidak malah menjerat korban atau bukan pelaku.
“Mari sahkan RUU-PKS demi kemaslahatan keluarga Indonesia. Mari jadikan UU-PKS sebagai instrumen penting dalam membangun peradaban bangsa yang lebih berkemanusiaan yang adil dan beradab dimulai dari keluarga yg nir-kekerasan seksual, keluarga yang paham dan terlibat aktif dalam pencegahan KS di lingkungan sosialnya, sekaligus memiliki akses atas keadilan dan pemulihan sekiranya terjadi KS di lingkungan masing-masing,” ajaknya.
Nyai Badriyah kembali menegaskan, UU-PKS berkorelasi langsung bagi terwujudnya keluarga yang dipenuhi mawaddah wa rahmah atas dasar mu’asyarah bil ma’ruf. UU PKS berperan dalam mewujudkan keluarga yang sakinah wa maslahah secara hakiki.
“Dari sini, bangsa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab insyaallah akan terbentuk. Artinya, UU-PKS perlu sebagai instrumen perlindungan bagi korban, keluarga, sekaligus pembentukan moralitas bangsa yang nir-kekerasan seksual,” ujarnya.
Anggota DPR RI periode 2004-2009 ini mengajak publik melepaskan kekhawatiran yang masih bersifat dugaan. Sebaliknya, ia meminta pihak terkait untuk fokus pada kemaslahatan nyata dan faktual yang belum terwujud. Pasalnnya, ratusan ribu korban tidak/belum mendapatkan keadilan lantaran ketiadaan hukum yang memberi perlindungan komprehensif dan keadilan substantif.
“Al-mashlahatul muhaqqaqah muqaddamah ‘alal mafsadatil mauhumah. Kemaslahatan yang nyata (harus) didahulukan daripada kemafsadatan yang bersifat praduga. Segera Sahkan RUU-PKS,” pungkas Nyai Badriyah.
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua