Nyai Badriyah Fayumi: Tokoh Agama Berperan Penting Tanggulangi Pernikahan Anak
Ahad, 19 September 2021 | 02:00 WIB
Syifa Arrahmah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU), Nyai Hj Badriyah Fayumi mengatakan, tokoh agama berperan penting dalam memberi penjelasan kepada masyarakat tentang dampak negatif dari pernikahan anak. Penjelasan tersebut tentu didasari kaidah keilmuan dan agama yang selama ini seringkali disalahartikan warga.
“Tokoh masyarakat atau tokoh agama harus bisa menjelaskan sejauh mana mudarat dari pernikahan anak dibanding manfaatnya. Tentu, mudaratnya jauh lebih besar,” katanya kepada NU Online, Sabtu (18/9/2021) malam.
“Itu harus dijawab secara tuntas menggunakan kaidah keilmuan dan agama. Masyarakat seringkali mengartikannya secara sepihak dan akhirnya menjadi salah persepsi,” sambung Nyai Badriyah.
Selain itu, Pengasuh Pesantren Mahasina Kota Bekasi itu menegaskan, hal tak kalah penting adalah memikirkan nasib anak-anak yang sudah terlanjur menjadi korban pernikahan dini. Pasalnya, banyak dari mereka yang harus putus sekolah dan hak-hak dasarnya terenggut.
“Ke depannya, kita jangan bicara (pernikahan) anak lagi. Pendewasaan usia perkawinan juga harus dilakukan. Usia minimum pernikahan baik perempuan maupun lelaki menjadi 21 tahun. Tentu disesuaikan dengan perspektif agama dan keilmuan,” tegas Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat itu.
Menurut laporan terbaru Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Anak-anak (Unicef), tercatat jutaan anak perempuan di seluruh dunia berisiko dipaksa menikah. Jumlah ini di luar angka 100 juta anak yang lebih dulu diprediksi Unicef sebelum pandemi Covid-19.
Penutupan sekolah, kondisi ekonomi yang menurun serta terhambatnya bantuan untuk keluarga berdampak besar bagi potensi anak perempuan menjadi istri sebelum berusia dewasa pada 2030. Demikian salah satu kesimpulan riset Unicef.
Prihatin atas hal itu, lanjut Nyai Badriyah, masyarakat perlu diedukasi bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Ia menilai, saat ini masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pernikahan hanya sebagai pelampiasan seksual atau upaya untuk menjauhi perzinahan semata.
“Anak menghindari zina itu harus. Akan tetapi, cara menyelamatkannya bukan dengan pernikahan anak,” ujar jebolan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir itu.
Karena pernikahan dini sangatlah rentan terhadap gangguan kesehatan reproduksi, kematangan psikologis, kemapanan ekonomi, sosial, dan spiritual dari mereka yang melakukannya. Tentu, hal itu berpengaruh terhadap masa depan anak-anak mereka yang notabene adalah generasi penerus.
“Kalau kecil-kecil sudah dikawinkan, ini jalan menuju generasi yang lemah,” lanjut perempuan kelahiran Pati, 5 Agustus 1971 itu.
Generasi lemah
Menurut Nyai Badriyah, pernyataan tersebut diperkuat oleh QS An-Nisa ayat 9 tentang larangan mempunyai generasi yang lemah. Artinya, jikalau kecil-kecil sudah dikawinkan, maka ini merupakan jalan menuju generasi lemah.
“Ya, lemah segalanya. Kemampuannya, pemikirannya, ataupun organ reproduksinya,” beber peraih penghargaan Tokoh Pesantren Peduli Perempuan dan Anak, Anugerah API (Apresiasi Pendidikan Islam) Kemenag RI itu.
“Orang tua semestinya memegang teguh hal itu. Al-Qur’an juga melarang untuk menjerumuskan diri dan keluarga dalam kebinasaan,” sambungnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, ada banyak kesalahpahaman di masyarakat, wali mujbir (orang tua kandung) yang menganggap boleh memaksakan perkawinan anak. Padahal makna sebenarnya tidak seperti itu, karena ada syarat keterjaminan kemaslahatan hidup.
Syarat tersebut banyak tertuang dalam hadits yang membahas soal itu. Diceritakan, pada masa Rasulullah saw pernah ada wali yang memaksa menikahkan putrinya. Akan tetapi, putrinya tidak mau dan Rasulullah melarang pernikahan itu.
“Karena kalau dipaksa dan anak tidak mau, tidak akan terjadi kemaslahatan,” ujar tokoh perempuan yang merampungkan S2 Tafsir Hadits di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Dengan demikian, Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu menganggap perlu membangun kontra narasi bahwa menikah muda membawa kemudaratan.
“Para ulama perempuan banyak yang bekerja di level akar rumput, narasi-narasi seperti itu jadi masukan untuk mengencangkan edukasi kepada orang tua dan anak,” tandas Nyai Badriyah.
Kasus pernikahan anak
Berdasarkan Catatan Tahunan, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menemukan 23.126 kasus pernikahan anak pada 2019. Angka kasus yang sama naik menjadi 64.211 kasus selama 2020.
Bila dilihat dari data pada 2018, angka pernikahan anak di bawah umur meningkat 500 persen lebih banyak dibandingkan angka dispensasi kawin pada 2018. Lonjakan perkara dispensasi kawin sepanjang 2020 merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Mengingat, legalitas perkawinan anak telah dibatasi oleh Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Mahkamah Agung No 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Bahkan, bila merujuk UU Nomor 16 Tahun 2019 yang berlaku sejak 15 Oktober 2019 pada Pasal 1 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua