Nasional

FHUI Bahas RUU Perampasan Aset, Soroti Pembuktian Terbalik dan Perlindungan Pihak Ketiga

Kamis, 23 Oktober 2025 | 20:15 WIB

FHUI Bahas RUU Perampasan Aset, Soroti Pembuktian Terbalik dan Perlindungan Pihak Ketiga

Diskusi publik bertajuk Quo Vadis RUU Perampasan Aset yang digelar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Kampus UI, Depok, pada Kamis (23/10/2025). (Foto: Humas FHUI/Aldi Rizki)

Depok, NU Online

Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) bekerja sama dengan Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Djokosoetono Research Center, ILUNI FHUI, dan Pascasarjana FHUI menggelar diskusi publik bertajuk Quo Vadis RUU Perampasan Aset di Ruang Multimedia S&T FHUI, Kamis (23/10/2025).


Seluruh pembicara tampil dalam satu sesi yang dimoderatori oleh Kaylanitha Syailendra. Forum diskusi ini menyoroti sejumlah hal, di antaranya soal pembuktian terbalik dan perlindungan pihak ketiga.


Mengawali acara, Wakil Dekan I FHUI Endah Hartati menegaskan bahwa kampus memiliki tanggung jawab moral dalam pembentukan hukum nasional.


“Sebagai lembaga pendidikan hukum tertua di tanah air, Fakultas Hukum UI memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk terus berperan aktif dalam memberikan sumbangsih terhadap pembentukan hukum nasional,” ujarnya.


Ia menambahkan, tema diskusi ini lahir dari keprihatinan dan optimisme akademik terhadap dinamika pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang tengah menjadi perhatian publik.


“Kita semua memahami bahwa kejahatan ekonomi dan tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat. Upaya pengembalian aset hasil kejahatan merupakan bagian penting dari strategi pemberantasan korupsi dan pemulihan integritas sistem hukum,” lanjutnya.


Dalam sesi diskusi, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2011-2016 Muhammad Yusuf menyoroti rancangan pengaturan illicit enrichment (tindakan pejabat memperkaya diri secara tidak sah) dan arah pembuktian dalam perampasan aset.


"Ini persoalan pidana. Jika konsepnya ditarik ke perdata, jaksa akan kesulitan membuktikan,” kata Yusuf.


Ia mendorong pendekatan pidana dengan pembuktian terbalik, seraya menilai bahwa rezim pengembalian aset seharusnya tidak hanya menyasar kasus korupsi, tetapi juga kejahatan lain yang relevan.


“Negara punya hak untuk membela diri terhadap penambahan kekayaan yang tidak wajar. Pengaturan yang kuat sejalan dengan praktik dan konvensi internasional,” tegasnya.


Dari perspektif tata kelola ekonomi, Direktur Hukum dan Regulasi PPATK Muhammad Novian menilai, RUU Perampasan Aset dapat memperkuat kepercayaan pasar.


“Iklim investasi akan semakin percaya bila Indonesia berhasil mengesahkan RUU Perampasan Aset ini. Indonesia akan dikatakan konsisten sebagai tempat investasi yang bersih,” tutur Novian.


Ia juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap pihak ketiga beritikad baik, terutama dalam kasus ketika aset tercampur antara harta sah dan hasil kejahatan.


"Mekanisme verifikasi dan keberatan pihak ketiga perlu jelas agar tidak menimbulkan ketidakpastian,” tambahnya.


Aspek akuntabilitas hukum acara menjadi perhatian Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati. Ia menilai fondasi hukum acara harus tegas sebelum RUU tersebut diberlakukan.


"Aturan hukum acaranya harus akuntabel terlebih dahulu. Misalnya pada kondisi pelaku melarikan diri, definisi dan prosedurnya belum jelas. Ini akan berdampak pada penegakan perampasan aset ke depan,” ujar Maidina.


Ia mengingatkan pentingnya safeguards hukum acara pidana, kejelasan status perkara pada tahap penyidikan, serta rincian kewenangan Jaksa Agung dalam pengalihan atau pengelolaan aset.


"Secara hukum acara masih banyak kekurangan. Mekanisme pengalihan aset perlu diatur rinci agar akuntabel,” tegasnya.


Dari sisi perumusan norma, Dosen FHUI sekaligus anggota tim perumus RUU Perampasan Aset Ganjar Laksmana Bonaprapta menjelaskan, perbedaan antara perampasan aset sebagai pidana tambahan yang sudah dikenal dengan gagasan perampasan aset tanpa harus menunggu adanya putusan atas tindak pidana tertentu.


“Pertanyaannya perampasan aset atau perampasan aset tindak pidana. Kalau pidana tambahan, KUHP sudah mengatur meski ada tantangan. Ide RUU ini menempatkan perampasan sebagai instrumen yang tidak selalu bergantung pada pembuktian tindak pidana spesifik,” jelas Ganjar.


Ia merangkum tiga kata kunci dalam rancangan tersebut yakni kekayaan yang tidak sesuai dengan profil, asal-usul kekayaan yang tidak jelas, dan pembuktian terbalik.


Sebagai penanggap dari kalangan mahasiswa, Sultan Rambe, mahasiswa Magister Ilmu Hukum FHUI, menekankan pentingnya kerangka asset recovery (pemulihan aset) yang utuh.


“Seharusnya orientasinya pemulihan aset, bukan semata perampasan. Asset recovery mencakup penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, sampai pengembalian,” kata Sultan.


Ia juga mengkritisi ambang batas minimal Rp100 juta dalam draf RUU tersebut.


“Ambang batas itu berpotensi menghambat pemulihan aset bernilai kecil. Sebaiknya dihapus atau direvisi agar semua aset hasil kejahatan dapat dipulihkan,” ujarnya.


Diskusi publik ini merangkum enam isu kunci. Pertama, pentingnya desain hukum acara yang jelas dan akuntabel, terutama dalam mendefinisikan situasi khusus seperti pelaku yang melarikan diri, standar pembuktian, dan urutan proses perampasan aset agar tidak menimbulkan celah hukum.


Kedua, perlindungan pihak ketiga beritikad baik melalui mekanisme keberatan dan verifikasi kepemilikan yang transparan, termasuk pada aset campuran.


Ketiga, penerapan pembuktian terbalik dan perluasan cakupan kejahatan yang tidak terbatas pada korupsi.


Keempat, kewenangan pengelolaan dan eksekusi aset oleh penuntut umum, termasuk pengalihan aset oleh Jaksa Agung, yang menuntut prosedur detail dan akuntabel.


Kelima, orientasi pemulihan aset yang menyeluruh, menempatkan perampasan sebagai bagian dari siklus asset recovery.


Keenam, dampak ekonomi dan investasi melalui kepastian hukum yang memperkuat pencegahan tindak pidana pencucian uang serta meningkatkan daya saing Indonesia.

Kontributor: Aldi Rizki Khoiruddin