RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas, Pembahasan Harus Libatkan Koalisi Sipil dan Ormas
NU Online · Kamis, 25 September 2025 | 08:00 WIB
Suci Amaliyah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset akhirnya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 setelah lebih dari dua dekade mangkrak.
RUU yang menjadi usul inisiatif DPR itu, menurut rencana, akan disusun oleh Komisi III DPR. Pembahasannya akan dilakukan simultan dengan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Media, IT, dan Advokasi Mohamad Syafi' Alielha atau Savic Ali mendukung adanya inisiatif RUU Perampasan Aset karena korupsi di Indonesia sudah berada di level ekstrem.
Kerugian negara menyentuh angka ratusan triliun akibat korupsi. Menurutnya, ancaman pidana saja tidak cukup untuk menghalangi tindakan koruptor.
"Jadi, perampasan aset mungkin menjadi salah satu pendekatan yang membuat orang takut korupsi," kata Savic kepada NU Online, Rabu (24/9/2025).
Namun, ia menekankan pentingnya melibatkan pakar, koalisi masyarakat sipil, hingga organisasi masyarakat (ormas), termasuk ormas Islam dalam pembahasan RUU.
"Untuk lahirnya sebuah produk hukum yang baik harus lewat proses sosialisasi serta mendengar masukan para ahli dan masyarakat umum. Ya, ormas-ormas yang merupakan representasi masyarakat perlu dilibatkan," ujarnya.
Menurutnya, proses sosialisasi dan mendengar masukan jadi bagian dari penerapan prinsip transparansi dan partisipasi. "Dua hal ini sangat esensial dalam demokrasi," imbuh Savic.
Senada, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan DPR wajib mempertimbangkan partisipasi bermakna dalam membahas RUU Perampasan Aset.
Selain itu, DPR juga harus transparan dan membuka seluas-luasnya informasi mengenai perkembangan pembahasan RUU Perampasan Aset.
"DPR juga harus transparan dan membuka seluas-luasnya informasi mengenai perkembangan pembahasan RUU Perampasan Aset," ujar dia dalam keterangan resmi.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia atau TII Danang Widoyoko mengingatkan agar pembahasan RUU prosesnya tidak saja mendorong agar disahkan tetapi pelaksanaan UU harus dipantau.
Hal ini penting untuk mencegah RUU instrumen yang mudah disalahgunakan. "Itu bisa dicegah hanya dengan dibahas secara terbuka dan melibatkan semua pihak," tutur Danang.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Pujiyono Suwadi mengatakan bahwa aturan tersebut berpotensi disalahgunakan jika tidak dilengkapi dengan kontrol dan batasan yang jelas.
"Kalau tidak ada batasan, aset orang bisa langsung disita hanya berdasarkan dugaan. Padahal tujuan kita mengembalikan kerugian negara, bukan menakut-nakuti masyarakat," kata Pujiyono dalam diskusi publik Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) dengan tajuk "Tarik Ulur Nasib RUU Perampasan Aset" di Jakarta.
Menanggapi itu,Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, RUU tentang Perampasan Aset akan dibahas setelah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tak lama lagi akan rampung.
"Dalam waktu tidak berapa lama lagi itu (KUHAP) akan disahkan, setelah itu baru kita mulai dengan perampasan aset," kata Dasco.
Menurut dia, DPR RI tengah berfokus meramu draf RUU itu agar nantinya Perampasan Aset bisa benar-benar dijalankan.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan menambahkan pembahasan RUU Perampasan Aset bakal dilakukan secara terbuka dengan mengedepankan prinsip partisipasi bermakna. "Tidak boleh ada pembahasan tertutup,”tegas Bob.
Sebelumnya, Koalisi Sipil mengusulkan sedikitnya lima isu yang perlu dibahas Dewan Perwakilan Rakyat dalam menyusun Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset.
Masukan itu dimuat dalam keterangan resmi yang disampaikan pada Rabu, 10 September 2025. Koalisi ini terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Auriga Nusantara, Institute for Criminal Justice Reform, IM57+Institute, Kaoem Telapak, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarma.
Terdapat beberapa isu yang wajib untuk dibahas oleh DPR, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, kualifikasi APH dan lembaga pengelola aset. Kewenangan Kejaksaan RI sebagai lembaga pengelola aset masih menjadi perdebatan. Sebab, Kejaksaan RI memiliki kewenangan yang terlalu luas dalam hal pengelolaan aset, termasuk dalam penyimpanan, pengamanan, hingga pemanfaatan dan pengembalian. Perlu ada jaminan pengawasan pengelolaan aset yang dilakukan oleh Kejaksaan RI agar nilai aset tidak berubah terlalu drastis.
Kedua, aturan mengenai harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya merupakan konsep dasar dari pengayaan ilegal. Jika seorang pejabat publik memiliki harta yang melebihi dari pendapatan seharusnya dan tidak dapat dijelaskan asal dari harta tersebut, maka patut diduga harta tersebut adalah hasil dari suatu tindak pidana, misalnya suap atau gratifikasi.
Sebetulnya, KPK sudah memiliki instrumen LHKPN yang dapat dijadikan sebagai dasar pengenaan pengayaan ilegal. Agar tidak hanya sebagai pemenuhan administratif belaka, LHKPN dapat digunakan untuk melihat kenaikan harta dari seorang pejabat.
Harta yang tak dapat dijelaskan ini penting untuk diatur dalam RUU Perampasan Aset, sebab akan mempermudah pembuktian dugaan korupsi.
Ketiga, threshold jumlah aset yang dapat dirampas. Berdasarkan Pasal 6 RUU Perampasan Aset per April 2023, aset yang dapat dirampas bernilai paling sedikit Rp100.000.000 dan diancam dengan 4 tahun atau lebih. Batas ini penting untuk dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan, misalnya, kondisi inflasi, nilai ekonomis, dan lain sebagainya.
Keempat, mekanisme upaya paksa dan pengawasan terhadap upaya paksa. RUU Perampasan Aset sangat berkaitan dengan upaya paksa. Meskipun RUU Perampasan Aset tidak mengandalkan pemidanaan terhadap pelakunya, namun terhadap aset yang diduga hasil tindak pidana penyidik dapat melakukan pemblokiran maupun penyitaan.
Kedua hal ini merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang akan membatasi hak seseorang. Oleh sebab itu, mekanisme upaya paksa dalam RUU Perampasan Aset wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian, agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Mekanisme pengawasan juga harus diperhatikan. Misalnya dengan menggunakan sistem hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan agar memastikan pelindungan hak warga negara.
Kelima, sistem pembuktian dalam RUU Perampasan Aset. Model pembuktian yang dikenal dalam non-conviction based asset forfeiture adalah pembuktian yang diadopsi dari hukum acara perdata. Maka, perlu ditegaskan bahwa RUU Perampasan Aset mengadopsi sistem pembuktian terbalik.
Karena bebannya bertumpu pada harta tersangka atau terdakwa, maka perlu ada mekanisme untuk memastikan jika secara nyata harta tersebut merupakan kepunyaan sah milik tersangka atau terdakwa.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua