Nasional

Gelar Haji sebagai Penghargaan sekaligus Penjaga Moral

Selasa, 28 Juni 2022 | 20:30 WIB

Gelar Haji sebagai Penghargaan sekaligus Penjaga Moral

Ilustrasi Haji.

Jakarta, NU Online
Sejarawan NU, H Abdul Mun’im DZ, menjelaskan bahwa gelar haji bagi umat Islam yang telah menuntaskan ibadah tersebut merupakan bentuk penghargaan terhadap kesempurnaan Islam seseorang. Karena, haji dilakukan dengan perjuangan lahir batin, fisik, ruhani, jasmani, hingga pertaruhan nyawa.


Selain itu, kata Mun’im, gelar haji juga sebagai tanda syukur dan penjaga moral. Menyandang gelar haji dapat mengingatkan pemiliknya untuk senantiasa berlaku baik.


“Rukun Islam kelima jangan sembarangan. Karena itu, dulu pergi haji tidak boleh masih muda. Hanya bagi orang yang sudah bisa meninggalkan kemaksiatan. Sebagai pengingat bagi mereka untuk meninggalkan dosa,” ujarnya kepada NU Online pada Selasa (28/6/2022).


Mun’im menjelaskan bahwa pemakaian gelar haji memang ditujukan untuk memperingatkan kepada mereka yang telah berhaji untuk menjaga sikapnya. “Jangan berbuat keburukan, kemaksiatan. Tujuannya peringatan itu,” tuturnya.


Orang berhaji juga kerap ditandai dengan penggunaan peci putih atau peci haji. Orang yang belum berhaji tidak berani menggunakan peci haji sebagai bentuk penghormatan kepada mereka. “Juga sakral kopiah haji itu. Itu bagian dari kontrol moral,” jelas Mun’im.


Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa orang yang telah berhaji tidak perlu gamang untuk menyematkan gelar haji itu dalam namanya, dan harus percaya diri dalam memakainya. Kalau pun tidak memakainya, menurut dia, juga bukan suatu masalah. “Belanda melakukan pemberian gelar haji itu benar. Tetapi sanad kita lebih jauh,” katanya.


Sebab, sejak dahulu, para ulama telah menggunakan gelar haji di dalam namanya. Bahkan, gelar haji itu termaktub dalam naskah-naskah manuskrip kuno Nusantara, bukan sejak zaman diterapkannya Ordonansi Belanda pada 1859.


Meskipun demikian, Mun’im mengingatkan bahwa gelar haji itu juga memiliki ekses negatif berupa kesombongan, minta dihormati, ingin disegani atau ditakuti orang.


“Eksesnya banyak. Padahal tujuannya positif. Diakumulasi untuk kepentingan sosial, politik, ekonomi. Ini harus dipilah secara proporsional,” ungkapnya.


Gelar haji hari ini, lanjut dia, dibawa agak peyoratif sehingga orang banyak yang gamang menyandangnya. Padahal, sejak dahulu orang sudah biasa menyematkan gelar tersebut pada namanya dan menjadi satu kelaziman.


“Orang yang memakai gelar haji tidak perlu minder. Di Makkah, askar pun meneriakinya haji,” pungkas Mun’im.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Musthofa Asrori