Nasional

Guru Besar UGM Kenalkan Konsep ERA agar Manusia Tak Sepenuhnya Dikendalikan AI

Jumat, 7 November 2025 | 09:30 WIB

Guru Besar UGM Kenalkan Konsep ERA agar Manusia Tak Sepenuhnya Dikendalikan AI

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Bidang Rekayasa Perangkat Lunak, Ridi Ferdiana menyoroti menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam menggunakan AI agar manusia tidak sepenuhnya dikendalikan oleh teknologi. Ia memperkenalkan konsep ERA (Esensial, Rating, dan Applicable), sebagai pedoman etika dan literasi digital bagi generasi muda.


Terkait konsep Esensial, dia menekankan pentingnya mencari pengetahuan dasar melalui sumber ilmiah seperti buku, bukan semata mengandalkan AI. Selanjutnya, soal Rating, ia mendorong pengguna untuk berpikir kritis sebelum mengambil keputusan, kemudian memanfaatkan AI untuk menilai atau memberi masukan atas keputusan tersebut.


Kemudian Applicable, lanjutnya, yaitu menggunakan AI sebagai alat bantu dalam memperbaiki dan menyelesaikan tugas, namun tetap didasari pemahaman dari dua tahap sebelumnya.


“Dari situ kita menjadikan generative AI sebatas partner kita, bukan menggantikan peran kita untuk menyelesaikan permasalahan secara penuh. Itulah mengapa pentingnya penerapan konsep ERA ini di dunia digital seperti saat ini,” jelas Ridi lewat laman UGM, pada Kamis (6/11/2025).


Lebih lanjut, Prof Ridi Ferdiana menerangkan sisi positif daripada penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau akal imitasi. Ia menerangkan, AI bisa menjadi teman belajar dalam memahami konsep, bukan sekadar memberi jawaban instan.


“Contohnya pada Gemini AI yang memiliki fitur guided learning yang akan mengajari kita dan melakukan deep research, sehingga membantu kita menganalisis jawaban lebih dalam. Tidak sebatas menerima jawaban mentah-mentah,” jelasnya.


Meski begitu, Ridi mengingatkan bahwa penggunaan AI secara berlebihan tanpa memeriksa kembali informasi yang diterima bisa menimbulkan ketergantungan. Ia menyebut fenomena ini sebagai DDA (Dikit-Dikit AI), karena banyak anak muda sekarang yang menggunakan kecerdasan buatan hampir untuk semua hal.


Kebiasaan ini, katanya, bisa membuat otak jadi kurang terlatih atau mengalami underload. Kalau terlalu sering bergantung pada AI, kemampuan berpikir kritis, mengingat, dan memecahkan masalah bisa menurun. Dalam jangka panjang, lanjutnya, hal ini bahkan bisa menyebabkan brain rot, yaitu kondisi ketika otak jadi malas berpikir karena jarang digunakan secara optimal.


“Jadi critical thinking dan aspek memorize menurun, makanya yang paling gawat terjadi efek brain rot terjadi karena malas mikir dan dikit-dikit jadi tanya ke AI,” ungkapnya.


Ia mengungkapkan bahwa di UGM, pengguna AI didominasi oleh kombinasi generasi milenial dan Generasi Z, yang mencakup sekitar 77 persen dari total 60.000 mahasiswa. Dari jumlah tersebut, sekitar 45.000 mahasiswa diketahui telah memanfaatkan AI, baik dalam aktivitas akademik maupun kegiatan sehari-hari.


“Saya perkirakan pada tahun 2030, adopsinya bisa mencapai 100 persen,” ujarnya.


Diketahui, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2025 mengungkap bahwa generasi Z menempati urutan teratas dalam memanfaatkan AI yaitu sebesar 43,7 persen, disusul dengan milenial sebesar 22,3 persen.