Gus Yahya Sebut Kesepakatan NKRI Berdasarkan UUD 1945 Harus Dibela sebagai Jihad fi Sabilillah
Kamis, 6 Maret 2025 | 19:00 WIB

Gus Yahya saat berpidato dalam acara pertemuan Densus Anti Teror 88 di Mabes Polri, Jakarta, pada Kamis (6/3/2025). (Foto: TVNU/Miftah)
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengungkapkan pentingnya kesepakatan atau konsensus nasional yang menjadi dasar negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila.
Menurutnya, konsensus ini bukan hanya merupakan kesepakatan politik, tetapi juga memiliki nilai agama yang mengikat bagi umat Islam untuk membela dan mempertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan, tanpa memandang agama atau kelompok.
Hal itu dikatakannya di hadapan petinggi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) saat acara Senior Level Meeting Densus Anti Teror 88 di Mabes Polri, Jakarta, pada Rabu (5/3/2025).
Lebih lanjut, Gus Yahya merujuk pada pernyataan Presiden Prabowo Subianto saat Kongres XVIII Muslimat NU di Surabaya yang mengungkapkan bahwa meskipun kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta, tetapi esensi ujian kemerdekaan sebenarnya terjadi di Surabaya.
Pada pertempuran itu, santri-santri dan pengikut Pendiri NU Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari memegang peranan penting, sebagai bagian dari perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa pada 22 Oktober 1945, para ulama dari Nahdlatul Ulama mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad yang berisi seruan kepada pemerintah Indonesia untuk mengumumkan jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah) guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan pasukan sekutu yang datang ke Surabaya.
"Mereka mengajukan resolusi kepada pemerintah Indonesia, mengajukan resolusi kepada pemerintah Indonesia. Jadi kita sekarang mengenal ada Resolusi Jihad itu adalah resolusi dari para pimpinan Nahdlatul Ulama kepada pemerintah Republik Indonesia yaitu Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta yang isinya adalah meminta agar pemerintah mengumumkan perang untuk mempertahankan bangsa melawan tentara sekutu yang datang ke Surabaya," jelasnya.
Gus Yahya menegaskan bahwa konsensus ini tidak mengarah pada pembentukan negara Islam atau khilafah, melainkan membela negara berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945.
Ia menyebutkan bahwa para ulama pada masa itu menganggap bahwa perjuangan untuk NKRI adalah jihad. Hal ini dibuktikan dengan tindakan para santri yang bergabung dalam perjuangan tanpa menunggu pengumuman resmi dari pemerintah.
"Karena tuntutannya adalah perang jihad fi sabilillah. Kenapa? Karena konsensus semacam itu memiliki nilai agama dan menjadi kesepakatan di dalam konsensus itu mengatasi apa pun norma-norma yang ditetapkan sebelum ada konsensus," ujarnya.
Lebih lanjut, Gus Yahya menyampaikan bahwa dalam Islam, konsensus yang telah disepakati memiliki kekuatan yang lebih besar daripada norma-norma sebelumnya.
Sebagai contoh, saat Rasulullah menunjukkan pentingnya konsensus dalam perjanjian Hudaibiyah. Nabi Muhammad bersama para pengikutnya menghentikan prosesi umrah meskipun belum selesai, demi memenuhi perjanjian dengan pihak Quraisy.
"Ditundukkan kepada perjanjian (Konsensus), harusnya dia (jamaah umrah) nggak boleh berhenti sampai sampai selesai tawaf (dan) sai, nggak boleh. Tapi karena ada perjanjian maka tunduk pada perjanjian hentikan ihramnya lalu bertahalul," ujarnya.
Ia juga menyoroti tantangan ke depan, yakni untuk memastikan bahwa konsensus yang telah disepakati berjalan baik dalam konteks NKRI maupun konsensus internasional, sehingga benar-benar berjalan dengan baik dan memberikan manfaat bagi semua pihak.
"Konsensus yang sudah disepakati itu bisa jalan sebagai sistem dan membawa benefit membawa maslahat bagi semua orang ini. Insyaallah akan memberikan kepada kita satu kerangka yang lebih kuat ke depan, dan harus menjadi agenda-agenda kita agar argumentasi-argumentasi kita dibangun di dalam menghadapi kelompok-kelompok radikal dan teror ini," ucapnya.
Gus Yahya mengajak para petinggi Polri untuk bisa menggerakkan masyarakat secara lebih luas dan memberikan kesadaran secara lebih luas kepada masyarakat tentang kepentingan bersama.
Hal itu, kata Gus Yahya, bertujuan untuk menegakkan konsensus dan menolak berbagai macam gerakan yang bertujuan mengganggu meruntuhkan sistem yang dibangun di atas konsensus.