Ketum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf dalam Kick Off Halaqah Fiqih Peradabandi Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, Rabu (4/10/2023). (Foto: Tangkapan layar Youtube S3 TV)
Situbondo, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengungkapkan keberanian para ulama NU terdahulu dalam bersikap menghadapi zaman. Menurutnya, ini merupakan bekal bagi generasi NU selanjutnya dalam bertindak dan bersikap.
"Para pendahulu kita sudah membekali kita dengan contoh-contoh tentang apa yang mereka lakukan di dalam menyikapi zaman dan keberanian untuk menentukan sikap," katanya, dalam Kick Off Halaqah Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, Rabu (4/10/2023).
Kiai kelahiran Rembang, 16 Februari 1966, itu kemudian mencontohkan beberapa peristiwa penting dalam perjalanan sejarah NU dan Indonesia.
"Ketika Republik Indonesia diproklamasikan, ulama-ulama kita berani menyatakan bahwa ini negara yang sah. Ketika Sekutu datang di Surabaya, ulama-ulama kita berani mamfatwakan wajibnya jihad fi sabilillah untuk melawan Sekutu," ungkapnya.
Ketika orang-orang membicarakan tentang hubungan antara Pancasila dan agama, sambung Gus Yahya, dan apakah usulan pemerintah atas azas tunggal Pancasila untuk semua organisasi ini bisa diterima atau tidak, muncul keberanian sikap dari para ulama NU.
"Di sini juga, di Sukorejo ini, Hadratussyekh Kiai As’ad Syamsul Arifin berani memberikan jaminan bahwa kita harus menerima Pancasila sebagai azas bagi jam’iyah kita," ungkapnya, diiringi tepuk tangan hadirin.
Riwayat Kiai As’ad Syamsul Arifin Terima Pancasila
NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dideklarasikan pada Musyawarah Nasional Alim Ulama Tahun 1983 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, pada 16 Rabiul Awal 1404 H atau bertepatan dengan 21 Desember 1983. Mengenai penerimaan azas Tunggal Pancasila ini, Gus Yahya juga mengungkap riwayat yang ia dapat dari tangan pertama, yaitu KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.
"Karena pada waktu itu paman saya Kiai Mustofa Bisri masuk di dalam komisi rekomendasi bersama-sama dengan Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan sejumlah kiai yang lain. Termasuk Kiai Yusuf Muhammad Allah yarham, dan lain-lain. Dan di situ dibicarakan tentang sikap NU terhadap usulan pemerintah untuk menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal, azas bagi semua organisasi yang ada," ungkapnya, membuka cerita.
Para kiai anggota komisi rekomendasi pada waktu itu, menurut Kiai Mustofa Bisri, enggan untuk membuat pernyataan yang qath’i (pasti, tegas) tentang persoalan ini.
"Jadi tidak mau menyatakan menerima atau menolak, tetapi hanya, ya, pokoknya pernyataan tengah-tengah lah kira-kira," kata Gus Yahya.
Tetapi, sambungnya, sebelum hasil sidang komisi dibacakan di pleno, Kiai As’ad Syamsul Arifin memanggil anggota perumus, yang anggotanya antara lain Gus Dur dan Gus Mus. Tetapi Gus Dur tidak mau, ia enggan dimarahi. Begitu juga yang lain, tidak mau.
Akhirnya Gus Mus didaulat untuk menghadap Kiai As’ad. Dan benarlah ia dimarahi. Kata Kiai As’ad, "Kenapa kok ndak mau terima azas Tunggal Pancasila," tiru Gus Yahya, dengan logat Madura.
"Ya kita bukannya ndak mau terima, Kiai. Kita ini cuma mendudukkan masalahnya secara proporsional," jawab Gus Mus.
"Ndak bisa begitu. Yang dibutuhkan itu terima apa tidak? Dan kita harus terima! Kalau kita ndak terima, apa akibatnya buat NU ini? Gimana kalau pemerintah marah?"
"Wong NU sebesar ini, masa pemerintah berani melakukan apa-apa kepada NU," kata Gus Mus kepada Kiai As’ad.
"Iya kalau ndak berani, kalau berani siapa (yang) tanggung jawab?" timpal Kiai As’ad.
Pertanyaan itu pun dibalik oleh Gus Mus, "Kalau kita terima azas tunggal, siapa yang berani tanggung jawab di depan Allah dan di depan umat?"
"Saya!" jawab Kiai As’ad, sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Ya sudah, sudah ada (yang) tanggung jawab, ya sudah, kita terima aja,” jawab Gus Mus, mengakhiri polemik yang memanas waktu itu.
"Jadi Bapak Ibu sekalian, kita semua–Jam’iyah Nahdlatul Ulama beserta jamaahnya hidup di NKRI hari ini, ini di bawah tanggungannya Kiai As’ad Syamsul Arifin. Beliau yang nanggung azas Pancasila," ungkap Gus Yahya, disambut tepuk tangan hadirin.
Menurutnya, ini merupakan keberanian kiai-kiai NU dalam bersikap dan membuat keputusanuntuk memberi jalan keluar. "Sehingga apa pun yang terjadi, masalah bisa diselesaikan. Karena ulamanya berani membuat keputusan, berani memberi jalan keluar," imbuhnya.
"Kalau ulama kita tidak berani bersikap mengesahkan NKRI sebagai negara bangsa, kapan mau merdeka, jadinya kapan? Jadi negaranya kapan? Kalau ulama kita ndak berani memfatwakan jihad fi sabilillah, ya, perang sabil melawan Sekutu waktu itu; ini kemerdekaan sudah diproklamirkan, negaranya belum tentu jadi ada, kalau Sekutu tidak dilawan waktu itu,” Gus Yahya menegaskan.
"Kalau soal Pancasila itu tidak diselesaikan di sini dengan keberanian bersikap seperti yang saya gambarkan tadi, ini masalah bisa tambah ruwet," tandasnya.
Dalam kesempatan ini, Gus Yahya juga menyampaikan harapannya agar jangan sampai generasi-generasi dari para ulama NU ini kemudian kehilangan keberanian-keberanian dari para ulama terdahulu. “Tentu saja ya termasuk jangan sampai kehilangan ghirrah-nya di dalam tafaqquh (fiddin),” ungkapnya.
Menurut juru bicara Presiden KH Abdurrahman Wahid itu, yang kita butuhkan bukan hanya sekadar rumusan-rumusan fiqhus syariah tentang waqai’. "Kalau bahtsul masail itu kan biasanya ada bahtsul masail diniyah waqi’iyah. Kita butuh lebih dari itu. Kita memerlukan tafaqquh tentang peradaban itu sendiri, tafaqquh tentang strategi untuk memperbaiki peradaban ini dengan inspirasi dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Ini yang kita butuhkan ke depan,” bebernya.
Tampak hadir dalam acara ini Wakil Rais Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir, Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, Sekretaris Jendral PBNU H Syaifullah Yusuf, Bendahara Umum PBNU Gus Gudfan Arif, Ketua PBNU H Ulil Abshar Abdalla, Ketua RMI PBNU KH Hodri Ariev, pengurus NU, serta ratusan santri.