Nasional

Imparsial Nilai Sistem Peradilan Militer Hambat Asas Persamaan di Hadapan Hukum

Jumat, 7 November 2025 | 09:00 WIB

Imparsial Nilai Sistem Peradilan Militer Hambat Asas Persamaan di Hadapan Hukum

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita tentang Peradilan militer. (Foto: dilmil-jayapura.go.id)

Jakarta, NU Online

Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, menilai sistem peradilan militer saat ini berpotensi menghambat penerapan asas persamaan di hadapan hukum di Indonesia. Menurutnya, prinsip tersebut bersifat mutlak dan tidak boleh dibedakan hanya berdasarkan profesi atau status seseorang.


“Konsep dalam criminal justice system itu menitikberatkan pada perbuatan, bukan pada orangnya. Misalnya tindak pidana korupsi kan diadili di peradilan tindak pidana korupsi (Tipikor), itu karena perbuatannya, bukan karena orangnya,” kata Hussein kepada NU Online di Jakarta, Kamis (6/11/2025) malam.


Ia menegaskan, dengan penalaran hukum yang wajar, asas kesetaraan hukum tidak boleh dikesampingkan. Semua orang seharusnya diperlakukan sama ketika berhadapan dengan hukum, tanpa pengecualian.


“Harusnya dengan penalaran yang wajar, karena keilmuan hukum yang selama ini dimiliki oleh hakim-hakim bahwa asas persamaan di muka hukum itu mutlak. Tidak boleh ada orang yang diperlakukan berbeda hanya karena dia pekerjaannya berbeda,” tambahnya.


Hussein juga menyoroti alasan yang kerap digunakan sebagai dasar keberadaan peradilan militer, yakni anggapan bahwa anggota militer bisa dijatuhi hukuman yang lebih berat di lingkungan peradilan internal. Menurutnya, argumen tersebut bertentangan dengan prinsip kesetaraan hukum dan justru dapat menimbulkan ketidakadilan.


“Bahwa orang itu harus dihukum sesuai dengan kadar perbuatannya, bukan karena dia siapa. Apalagi kita lihat, masyarakat semua bisa lihat dalam peradilan di kasus pembunuhan bos rental di Tangerang, sudah dihukum seumur hidup tiba-tiba dikorting,” jelasnya.


Ia menilai, keberadaan peradilan militer dalam bentuknya yang sekarang berpotensi menciptakan perlakuan khusus bagi anggota militer aktif. Hal tersebut dapat mengurangi akuntabilitas serta membuka ruang impunitas.


“Alih-alih hukuman yang lebih berat, tetapi malah mengarah kepada impunitas,” katanya.


Atas dasar itu, Imparsial secara konsisten mendorong reformasi peradilan militer sebagai bagian penting dari agenda Reformasi 1998.


Menurut Hussein, tanpa perubahan mendasar pada sistem peradilan militer, semangat reformasi yang lebih luas akan sulit terwujud.


“Kesia-siaannya itu adalah berbagai macam pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh TNI, maupun pelanggaran pidana. Itu tidak akan bisa diminta akuntabilitasnya karena peradilan militer itu di mana hakimnya, jaksanya, pengacaranya, terdakwanya sama-sama militer,” jelasnya.


Hussein juga mengingatkan bahwa reformasi peradilan militer merupakan amanat langsung dari Tap MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 yang menegaskan perlunya pembaruan di tubuh TNI, termasuk dalam sistem peradilannya. Hal ini juga ditegaskan dalam UU TNI yang menyebut bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum seharusnya diadili di peradilan umum.


“Kendati di pasal selanjutnya ada klausul yang menyatakan bahwa selama Undang-Undang Peradilan Militer itu belum direvisi, maka berlaku lah kasus anggota militer itu diadili pada peradilan militer,” ungkapnya.