Keketuaan Indonesia di ASEAN Dorong Praktik Bisnis yang Inklusif
Sabtu, 8 Juli 2023 | 11:30 WIB
Jakarta, NU Online
Keketuaan Indonesia dalam ASEAN 2023 bertema ASEAN Matters: Epicentrum of Growth harus mampu mewujudkan ASEAN sebagai rumah bagi bisnis yang inklusif dan bertanggung jawab.
Sebagai upaya strategis untuk mendorong hadirnya kebijakan bisnis yang inklusif, INFID menggelar Pertemuan Nasional Bisnis dan HAM di Jakarta. kegiatan bertema Mendorong Proses Bisnis Inklusif dan Bertanggung Jawab dalam Mewujudkan ASEAN sebagai Pusat Pertumbuhan, ini digelar pada Kamis-Jumat (6-7/7/2023).
INFID bersama masyarakat sipil dan komunitas yang tergabung dalam program GRAISEA (Gender Transformative and Responsible Business Investment in Southeast Asia) fase kedua secara khusus mendorong promosi dan pelaksanaan bisnis yang bertanggung jawab dan investasi pengembangan perempuan dengan pendekatan transformatif gender di Asia Tenggara.
Program ini secara simultan telah melakukan sejumlah kerja nyata, seperti penguatan kapasitas UKM, penguatan sektor privat agar dapat mengembangkan bisnis yang lebih inklusif, bertanggung jawab, dan tangguh, serta mendorong kebijakan nasional dan regional agar menetapkan kerangka kebijakan yang mendorong adopsi model bisnis yang inklusif dan bertanggung jawab.
“Di tingkat nasional, misalnya, INFID dan teman-teman masyarakat sipil mendorong pemerintah untuk memasukkan poin pemberdayaan ekonomi perempuan ke dalam strategi nasional bisnis dan HAM (Stranas BHAM) yang telah masuk program penyusunan perpres tahun 2023 sebagaimana disebut dalam Keppres No 26 Tahun 2022,” terang Direktur Eksekutif INFID Iwan Misthohizzaman dalam rilis yang diterima NU Online, Jumat (7/7/2023) malam.
Secara global, Indonesia sudah menyetujui sejumlah instrumen dan panduan internasional. Seperti Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan HAM (United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights/UNGPs on BHR) yang dikeluarkan oleh Dewan Sidang HAM PBB tahun 2011.
Selain itu, juga ASEAN Inclusive Business Framework (AIBF) 2017, serta Guidelines for the Promotion of Inclusive Business in ASEAN yang diterbitkan oleh ASEAN pada 2020.
Meski demikian, praktik korporasi di Indonesia nyatanya masih rentan dari pelanggaran HAM dan belum inklusif terhadap hak pekerja perempuan. Catatan Komnas HAM pada 2021 menempatkan korporasi pada urutan kedua pihak paling banyak mendapatkan laporan pelanggaran HAM.
Terdapat sejumlah upaya yang selama ini telah dilakukan INFID bersama CSO lainnya yang tergabung dalam GRAISEA2 untuk mendorong secara nasional dan regional rantai nilai bisnis yang transformatif gender dan inklusif.
Rena Herdiyani, Wakil Ketua Keorganisasian Kalyanamitra, salah satu CSO yang tergabung dalam GRAISEA2 mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan advokasi agenda keadilan ekonomi dalam perspektif feminis atau Feminist Economic Justice Agenda (FEJA) di tingkat ASEAN dan nasional.
Tujuannya agar agenda kesetaraan gender menjadi landasan dan prioritas dalam pembuatan kebijakan pembangunan ekonomi di ASEAN dan negara-negara anggotanya.
“Upaya tersebut dilakukan bersama jaringan Weaving Women's Voices in Southeast Asia (WEAVE), sebuah jaringan regional yang melakukan advokasi hak perempuan di ASEAN,” terang Rena.
Suara perempuan
Suara dan pengalaman perempuan dengan beragam konteks sangat penting menjadi rujukan dalam pembuatan kebijakan. Hal ini menjadi fokus Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) yang mengambil peran dalam pemberdayaan ekonomi perempuan melalui usaha kecil dan menengah (UKM).
“Usaha budidaya perikanan di Indonesia memiliki produksi yang tinggi dan potensi besar di masa depan. Sayangnya, di tengah potensi ekonomi tersebut, perempuan nelayan masih menghadapi kendala dalam hal pengakuan hingga sulit mendapat akses minim terhadap program pemerintah”, ungkap Emmy, Direktur Eksekutif ASPPUK, CSO yang juga tergabung dalam GRAISEA2.
Oleh karena itu, ASEAN harus menciptakan ruang aman dan membangun sistem yang inklusif bagi kelompok perempuan marjinal. Hal ini merupakan langkah krusial agar mereka dapat berpartisipasi secara bermakna dalam pembuatan kebijakan dan menciptakan peluang ekonomi yang setara bagi perempuan dan anak perempuan.
Bersamaan dengan momentum jelang KTT ASEAN ke-43 pada September 2023 mendatang, INFID mendesak Indonesia sebagai ketua agar mampu mewujudkan bisnis inklusif secara nasional dan regional sebagai pencapaian tema keketuaan Indonesia, yaitu ASEAN sebagai Epicentrum of Growth (pusat pertumbuhan).
Kementerian Hukum dan HAM RI sebagai Ketua dalam Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM dan memimpin pembuatan Strategi Nasional Bisnis dan HAM mengungkapkan saat ini pemerintah tengah berupaya mendorong pengesahannya.
“Terdapat rencana aksi terkait perikanan, gender, UKM, dan lingkungan di dalam Strategi Nasional Bisnis dan HAM. Isu hak anak dan hak kelompok disabilitas juga masuk dalam perhatian,” tutur Sofia Alatas, Koordinator Kerja Sama Luar Negeri, Direktorat Kerja Sama HAM Kementerian Hukum dan HAM RI terkait Stranas BHAM.
Jika Stranas BHAM ini sah, Kemenkumham mendorong adanya peran pemerintah lokal untuk memastikan bisnis inklusif di daerah masing-masing.
Sektor bisnis saat ini juga terus melakukan pembenahan untuk mendorong bisnis inklusif dan bertanggung jawab, salah satunya melalui jaringan korporasi global bernama Indonesia Global Compact Network (ICGN).
“Kita hadir lebih dari 100 negara, mendorong bisnis yang responsif. Kita membuat strategi dan tools yang bisa bisnis lakukan (untuk mewujudkan bisnis inklusif). Ada SDG Innovation di mana mereka menjadi katalisator, ada pendampingan 6 bulan. Ada target gender quality dalam meningkatkan peran perempuan di dalam bisnis,” ungkap Josephine Satyono, Executive Director IGCN.
Masyarakat sipil akan terus bergerak mengawal bisnis inklusif dan bertanggung jawab. Salah satu upaya mendorong hal ini akan dilakukan melalui ASEAN People Forum 2023 pada September nanti.
“Salah satu tema utama yang akan dibahas adalah keadilan ekonomi. Bulan Agustus juga akan ada Inclusive Business Summit, di mana INFID dan beberapa CSO akan bersuara,” tutup Iwan.
Editor: Musthofa Asrori