Nasional

Kenang 41 Tahun Tragedi Tanjung Priok, Aksi Kamisan Ke-877 Soroti Peran Militer di Ranah Sipil Saat Ini

Jumat, 12 September 2025 | 08:00 WIB

Kenang 41 Tahun Tragedi Tanjung Priok, Aksi Kamisan Ke-877 Soroti Peran Militer di Ranah Sipil Saat Ini

Aksi Kamisan Ke-877 di seberang Istana Negara, Jakarta, pada Kamis (11/9/2025). (Foto: NU Online/Haekal)

Jakarta, NU Online

Aksi Kamisan ke-877 digelar di depan Istana Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2025) sore. Aksi ini digelar untuk mengenang 41 tahun tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984, yaitu sebuah peristiwa kelam dalam sejarah pelanggaran HAM di Indonesia.


Dalam orasinya, seorang peserta aksi menyinggung soal peran militer yang dinilai telah melampaui batas fungsi dan wewenangnya. Sebab pola-pola represi militer masa lalu masih tampak dalam situasi hari ini.


"Melawan otoritarianisme yang dijalankan oleh militer. Militer sampai masuk-masuk ke ranah seperti yang sekarang ya, Militer masuk ke ranah privat mereka mulai menginjak-nginjak privasi orang-orang dan mereka juga pada akhirnya membunuh banyak orang," serunya.


Ia melanjutkan dengan ajakan untuk tidak tinggal diam menghadapi situasi tersebut.


"Apa kita mau diam, teman-teman?" tanyanya. "Tidak," jawab serempak peserta aksi.


Dalam tragedi Tanjung Priok, ia mengutip laporan Komnas HAM yang mencatat sedikitnya 55 orang mengalami luka-luka, sementara 23 orang lainnya tewas. Meskipun pengadilan HAM sempat menjatuhkan vonis bersalah terhadap 12 terdakwa pada 2003, mereka semua dinyatakan bebas di tingkat kasasi.


"Jadi artinya pelaku-pelaku ini bebas," tegasnya.


Ia juga mengecam karena para korban kerap dikriminalisasi, alih-alih dilindungi oleh negara sebagai sebuah hak dasar seorang rakyat.


"Itu sebuah gambaran militer bisa seberpengaruh itu, mereka bukan hanya dijadikan korban, mereka juga dikriminalisasi karena mereka dianggap pemecah belah bangsa. Apakah orang yang memperjuangkan keadilan patut dikriminalisasi seperti itu?," katanya.


Lebih jauh, massa Aksi Kamisan menyerukan agar negara memenuhi hak-hak korban tragedi Tanjung Priok, termasuk keadilan, kebenaran, pemulihan, dan jaminan agar peristiwa serupa tak terulang di masa depan. Mereka juga menolak proyek penulisan ulang sejarah nasional dan rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.


"Karena hanya akan melanggengkan impunitas dan menggelapkan fakta sejarah pelanggaran HAM," ujar orator tersebut.


Mereka juga menuntut agar Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM dengan membentuk penyidik Ad Hoc, sesuai amanat Pasal 21 ayat 3 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.


"TNI hendaknya tidak bertindak melebihi tugas pokok dan wewenangnya. Penindakan korban HAM harus independen tanpa diintervensi oleh siapa pun," katanya.


Pantauan NU Online, massa aksi juga ikut mengecam penangkapan Direktur Lokataru Delpedro Marhaen, beserta aktivis lainnya. Bahkan, terdapat seorang anak yang menanyakan kabar bapaknya setelah hilang sejak 2022 dan kasusnya tidak ditanggapi oleh Polisi.


Sebagai informasi, pada 12 September 1984, sebuah peristiwa kelam terjadi di Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Tanjung Priok.


Insiden ini melibatkan konfrontasi antara aparat militer dengan massa umat Islam yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa dan menjadi salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa Orde Baru.


Tragedi Tanjung Priok 1984 dipicu oleh suasana politik yang represif di bawah pemerintahan Orde Baru yang menerapkan kebijakan asas tunggal Pancasila. Kebijakan ini mewajibkan semua organisasi, termasuk organisasi keagamaan, untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas mereka. Hal ini menimbulkan ketegangan di kalangan sebagian kelompok Islam yang merasa keyakinan mereka terancam.


Pemicu langsung peristiwa ini adalah insiden yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Pada 7 September 1984, seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa), Sersan Satu Hermanu memasuki Mushala As-Sa'adah di Tanjung Priok tanpa melepas sepatunya.


Tindakannya yang bertujuan untuk mencopot pamflet yang dianggap kritis terhadap pemerintah, memicu kemarahan warga setempat. Eskalasi terjadi ketika warga yang tersinggung membakar sepeda motor Babinsa tersebut, yang berujung pada penangkapan empat orang warga, termasuk pengurus musala.


Kemudian kabar mengenai penangkapan dan tindakan Babinsa yang dianggap melecehkan tempat ibadah dengan cepat menyebar. Pada malam tanggal 12 September 1984, sejumlah tokoh masyarakat dan ulama, di antaranya Amir Biki, memimpin ceramah di hadapan ribuan massa di Jalan Sindang, Koja, Tanjung Priok. Dalam ceramah tersebut, diserukan tuntutan pembebasan empat warga yang ditahan.


Setelah ceramah, massa dalam jumlah besar bergerak menuju Markas Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Utara untuk menuntut pembebasan rekan-rekan mereka. Namun, pergerakan massa dihadang oleh aparat keamanan yang telah bersiaga penuh dengan persenjataan lengkap. Situasi memanas dan tak terkendali. Aparat keamanan kemudian melepaskan tembakan ke arah kerumunan massa.


Akibat penembakan tersebut, puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Angka resmi yang dikeluarkan pemerintah saat itu menyebutkan 24 orang tewas dan 54 orang luka-luka. Namun, laporan dari berbagai sumber independen dan saksi mata, termasuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), memperkirakan jumlah korban jiwa jauh lebih besar, mencapai ratusan orang, dengan banyak di antaranya yang hilang dan tidak pernah ditemukan.


Pasca-tragedi, pemerintah Orde Baru melakukan penangkapan massal terhadap mereka yang dianggap terlibat. Sejumlah tokoh Islam diadili dengan tuduhan subversi. Pemerintah juga berupaya mengendalikan narasi publik dengan menyatakan bahwa peristiwa tersebut dipicu oleh hasutan kelompok ekstremis yang ingin mengganggu stabilitas nasional.


Setelah rezim Orde Baru tumbang pada 1998, tuntutan untuk mengusut tuntas Tragedi Tanjung Priok kembali menguat. Pada 2000, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Tanjung Priok. Hasil penyelidikan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut.


Pengadilan HAM Ad Hoc kemudian digelar pada tahun 2003-2004 untuk mengadili para tersangka. Namun, proses peradilan ini dianggap gagal memberikan keadilan bagi para korban. Sejumlah perwira militer yang menjadi terdakwa divonis bebas, menimbulkan kekecewaan mendalam bagi keluarga korban dan para aktivis HAM.


Hingga kini, Tragedi Tanjung Priok 1984 tetap menjadi luka dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini menjadi pengingat kelam akan bahaya represi negara dan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia. Setiap tahunnya, para korban dan keluarga mereka terus mengenang dan menuntut keadilan yang belum sepenuhnya mereka dapatkan, termasuk melalui Aksi Kamisan.