Nasional

Kiai Miftach Sampaikan Tugas Perkawinan Lahirkan Kehidupan Harmonis

Kamis, 18 Maret 2021 | 16:00 WIB

Kiai Miftach Sampaikan Tugas Perkawinan Lahirkan Kehidupan Harmonis

Kiai Miftachul Akhyar mengatakan perkawinan yang sah merupakan pintu satu-satunya untuk mempertahankan populasi manusia. Sementara pintu atau cara yang lain tidak dibenarkan dalam Islam. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftachul Akhyar menyatakan, tugas besar dalam sebuah perkawinan adalah melahirkan hayatan zawjiyah atau kehidupan harmonis yang bukan hanya bisa dirasakan di dunia, tetapi sampai di akhirat. 

 

Menurutnya, perkawinan yang sah merupakan pintu satu-satunya untuk mempertahankan populasi manusia. Sementara pintu atau cara yang lain tidak dibenarkan dalam Islam. Karena itu, lahirlah istlah ibnun dan bintun yang hanya diperoleh dari manusia karena telah mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan yang sah. 

 

“Hayatan zawjiyah adalah tawaran dalam Islam pada sebuah perkawinan yang sah. Kalau tawarannya itu maka tidak serendah pemahaman selama ini, asal cocok kawin. Bahkan mungkin ditetapkan batasan usia minimal perempuan (19 tahun) dan laki-laki (21 tahun)," ungkap Kiai Miftach saat sambutan dalam Seminar dan Deklarasi Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Kualitas SDM Indonesia, Kamis (18/3). 

 

Ia mengungkapkan, perkawinan belum dapat dikatakan berkualitas jika belum memenuhi kriteria untuk membentuk satu tujuan yakni hayatan zawjiyah itu, sebuah harmoni di dunia dan akhirat. 

 

Sebab perkawinan akan membentuk unit masyarakat bernama rumah tangga. Kemudian menciptakan sebuah tatanan masyarakat. Lalu jika masyarakat berkualitas maka akan lahir sebuah umat, bangsa, atau negara yang berkualitas pula. 

 

"Karenanya, Islam tidak menginginkan rumah tangga atau keturunan yang hanya sekadar memenuhi persyaratan perkawinan di dalam kitab fiqih saja," ujar Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini. 

 

Lebih lanjut Kiai Miftach menuturkan, saat ini telah terjadi kesalahpahaman banyak orang dalam memaknai hadits Nabi tentang anjuran menikahi perempuan yang berpotensi banyak melahirkan anak. Hadits itu berbunyi tazawajul walud wa inni mukatsirum bi kumul umam.

 

"Peristrilah perempuan-perempuan yang berpotensi banyak melahirkan anak. Di kelanjutan hadits ini, di-dawuh-kan akan saya banggakan di depan para bangsa-bangsa. Tapi ternyata ini dimaknai hanya sebatas lafdziyah, pokoknya banyak anak. Berkualitas atau tidak, Rasulullah senang yang penting banyak anak, ini pemahaman yang salah," terang Kiai Miftach.

 

Dengan demikian, lanjut Kiai Miftach, Islam telah memberikan sebuah dasar yang lengkap mengenai perkawinan dan menciptakan rumah tangga yang berkualitas. Perkawinan bukan hanya berfungsi untuk mempertahankan populasi manusia tetapi juga untuk melanggengkan syariat agama.

 

"Karena manusia adalah makhluk utama yang diberikan tanggung jawab untuk keberlangsungan keberagamaan kita sebagai pemakmur dunia satu-satunya yang telah mendapat mandat dari Allah," pungkasnya. 

 

Sebagai informasi, pada acara yang diselenggarakan atas kerja sama antara MUI dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan  dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) ini, dihadiri oleh Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin.

 

Seminar juga menghadirkan Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga Hj Amany Lubis, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, serta Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendy. 

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan


Terkait