Nasional

Kiai Moqsith Harap Masjid Kembali Jadi Pusat Peradaban Islam 

Senin, 17 Maret 2025 | 06:00 WIB

Kiai Moqsith Harap Masjid Kembali Jadi Pusat Peradaban Islam 

Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali saat ceramah agama dalam Khataman Al-Qur'an NU Global di Masjid Gus Dur Ciganjur, Ahad (16/3/2025). (Foto: Musthofa Asrori)

Jakarta, NU Online
Masjid di dalam pandangan NU adalah elemen yang cukup penting, karena zaman dulu masjid menjadi pusat peradaban Islam. Pada zaman dahulu, ketika ulama-ulama besar belum punya pesantren pengajiannya berlangsung di masjid.


Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan hal tersebut saat memberi tausiyah pada momen Khataman Al-Qur'an NU Global yang dipusatkan di Masjid Al-Munawaroh Ciganjur, Jakarta Selatan, Ahad (16/3/2025).


"Mudah-mudahan bacaan Al-Qur'anul Karim yang tadi diperkirakan 30.000 lebih khatamannya, kemudian tersebar oleh puluhan ribu masjid di dalam dan luar negeri termasuk di Masjid Al-Munawwaroh yang diselenggarakan di Ciganjur ini,” ujarnya.


Kiai Moqsith menuturkan bahwa dahulu kala Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari memiliki santri tidak banyak, hanya 20 orang. Saat itu pengajiannya berlangsung di masjid. Tapi, 20 santrinya Kiai Hasyim Asy’ari “jadi” semua.


"Jangan bayangkan seperti santri Lirboyo sekarang yang jumlahnya 43.000. Jadi santri Mbah Hasyim cukup 20 orang. Tapi, yang 20 itu adalah KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Hasan Sepuh Genggong, KH Zaini Mun’im Nurul Jadid,” ungkapnya.


Meskipun santri Mbah Hasyim Asy’ari hanya 20 orang, lanjut Kiai Moqsith, akan tetapi sekarang menjadi tonggak-tonggak utama membangun peradaban Islam. Santrinya Syaikhona Cholil Bangkalan juga tidak banyak, mungkin 15 orang.

 

“Santrinya Mbah Hasyim juga santrinya Syaikhona Cholil Bangkalan. Karena Mbah Hasyim sendiri adalah santrinya Syaikhona Cholil Bangkalan. Santri yang paling lama mondok di Bangkalan itu adalah pendiri Pesantren Lirboyo, KH Abdul Karim yang disebut dengan Mbah Manaf. Beliau lambat menikah karena kelamaan mondok di pesantren, beliau menikah umur 45 tahun,” tuturnya.


“Jadi, Gus Arif tidak usah khawatir jika Masjid Al-Munawwaroh santrinya tidak banyak. Karena kita punya contoh santrinya Mbah Hasyim tidak banyak tapi jadi semua. Siapa tahu dari Masjid Al Munawarah yang tidak direnovasi sejak tahun 1990 sampai sekarang ini berkahnya akan besar,” sambung kiai asal Madura ini.


Kiai Moqsith mengenang saat dirinya pada tahun 1990-an awal pertengahan sering datang ke Masjid Al Munawwaroh. Masjid ini pada pertengahan tahun 90-an menjadi pusat peradaban Indonesia karena ide-ide Reformasi lahir dari Ciganjur.


“Mudah-mudahan acara hari ini menjadi momentum kita untuk membangun peradaban Islam, peradaban umat manusia, peradaban Nahdlatul Ulama. Dimulai dari Ciganjur dan akan menyebar ke seluruh dunia melalui juru bicara NU yang ada di Pengurus Cabang Istimewa menyebar di seluruh dunia,” harapnya disambut aplaus hadirin.


Masjid sebagai pusat peradaban Islam, lanjut dia, harus kaya. Yang salat di masjid boleh tidak kaya. Karena masjid ini milik Allah, maka masjid tidak boleh dimiliki. Karena masjid tidak boleh dimiliki, maka masjid boleh memiliki.


“(Misalnya) masjid boleh memiliki SPBU, memiliki tambang. Karena masjid tidak boleh dimiliki maka masjid boleh memiliki. Karena setiap yang tidak bisa dimiliki, maka boleh memiliki,” ujarnya berfilosofi.


Karena masjid sebagai pusat peradaban, maka harus memiliki apa saja seperti SPBU,  sound system yang bagus, punya kebun, sawah, tambang, dan punya apa saja. “Makanya masjid ini harus kaya,” tandas Kiai Moqsith.