Nasional

KontraS Nilai Tahun 2025 sebagai Malapetaka HAM: Pelanggaran Terus Berulang Tanpa Akuntabilitas Negara

Selasa, 9 Desember 2025 | 15:45 WIB

KontraS Nilai Tahun 2025 sebagai Malapetaka HAM: Pelanggaran Terus Berulang Tanpa Akuntabilitas Negara

Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya dalam Peluncuran Katastrofe Hak Asasi Manusia dan Urgensi Politik Kewarganegaraan di Twin House, Kala di Kalijaga, Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, tahun 2024 sebagai katastrofe atau malapetaka bagi hak asasi manusia (HAM). Berbagai situasi Hak HAM dimuat dalam laporan Hari HAM bertajuk Katastrofe Hak Asasi Manusia.


KontraS menyebut berbagai bentuk pelanggaran terus berulang tanpa adanya evaluasi maupun perbaikan yang berarti dari negara.


Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya mengatakan bahwa pemerintah dan DPR RI mengesahkan sejumlah undang-undang secara kilat, termasuk Undang-Undang TNI, tanpa proses partisipasi publik yang memadai.


“Situasi ini menunjukkan bahwa negara tidak memiliki kemauan politik yang kuat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM,” ujar Dimas dalam Peluncuran Katastrofe Hak Asasi Manusia dan Urgensi Politik Kewarganegaraan di Twin House, Kala di Kalijaga, Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2025).


Dimas menegaskan bahwa akar persoalan pelanggaran HAM terletak pada lemahnya akuntabilitas negara dan buruknya tata kelola penegakan hukum. Ia meminta pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh.


“Padahal, dalam konteks keadilan transisi, pelurusan sejarah dan pengungkapan kebenaran merupakan langkah mendasar untuk menjamin ketidakberulangan (non-recurrence) serta mewujudkan rekonsiliasi sejati yang dilandasi oleh transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas,” papar Dimas.


“Era Presiden Prabowo memberikan sejumlah gelar dan gelar pahlawan, gelar jasa, gelar tanda kehormatan, kepada hampir semua orang yang kami duga, atau publik duga, sebagai pelanggar HAM,” katanya.


Dimas juga mengungkapkan bahwa hambatan struktural turut memperburuk kegagalan penegakan HAM, terutama adanya celah hukum pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.


Undang-undang tersebut memisahkan kewenangan penyelidikan oleh Komnas HAM dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung, sehingga menciptakan ruang tarik-menarik kepentingan dan menghambat proses hukum.


“Pemisahan ini membuat banyak kasus, baik yang terjadi sebelum maupun setelah reformasi, tidak pernah benar-benar diproses sampai tuntas,” ujarnya.


Dalam catatan pemantauan sejak Desember 2024 hingga November 2025, KontraS merekam berbagai bentuk pelanggaran hak warga negara, termasuk pelanggaran terhadap hak hidup. Selama periode tersebut, terjadi 42 kasus extra judicial killing yang menyebabkan 44 orang meninggal dunia. Polri menjadi aktor utama dengan 26 kasus, disusul TNI dengan 15 kasus.


Selain itu, penyiksaan juga masih marak terjadi, 71 peristiwa penyiksaan dengan 159 korban, di mana 142 orang mengalami luka dan 17 lainnya meninggal dunia. Metode yang digunakan mulai dari pemukulan, tendangan, injakan, hingga penyetruman. Polri tercatat sebagai pelaku terbanyak dengan 53 kasus, disusul petugas Rutan/Lapas sebanyak 5 kasus, dan anggota TNI sebanyak 13 kasus.


Dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, KontraS menemukan 32 pelanggaran mencakup pelarangan beribadah, perusakan fasilitas ibadah, penolakan pembangunan rumah ibadah, penyegelan, tindakan intimidasi, hingga persekusi.


Kebebasan sipil juga mengalami tekanan sepanjang 2025, KontraS mendokumentasikan 205 pelanggaran kebebasan sipil, termasuk pembubaran aksi, intimidasi, kekerasan aparat, hingga serangan digital. Dari jumlah tersebut, 178 peristiwa melibatkan Polri, 5 kasus melibatkan TNI, dan 14 lainnya dilakukan oleh pemerintah.


Akibat berbagai pelanggaran tersebut, sedikitnya 5.101 orang menjadi korban, terdiri atas 661 korban luka, 4.291 orang yang mengalami penangkapan sewenang-wenang, serta 134 korban kekerasan lainnya.


KontraS juga menyoroti gelombang demonstrasi pada 25-31 Agustus 2025 yang diwarnai laporan orang hilang. Posko Orang Hilang KontraS menerima 46 pengaduan, dan setelah dilakukan verifikasi, ditemukan 34 kasus penghilangan paksa jangka pendek. Delapan laporan lainnya merupakan miskomunikasi dengan pelapor, sementara satu kasus belum dapat dipastikan kategorinya.