KPAI Desak Pemerintah Hapus Game dan Konten Medsos Bermuatan Kekerasan dari Akses Anak
Selasa, 11 November 2025 | 21:45 WIB
Jakarta, NU Online
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti maraknya game online dan konten media sosial yang mengandung unsur kekerasan dan radikalisme.
KPAI menilai fenomena ini berpotensi mempengaruhi perilaku anak hingga mengarah pada tindakan ekstrem di dunia nyata, seperti yang diduga terjadi dalam kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta.
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono mendesak pemerintah mengambil langkah tegas penghapusan game online dan konten di media sosial yang bermuatan atau mengandung unsur paham radikal.
“Terkait akses di media sosial maupun game online yang mengandung unsur kekerasan, radikalisme, saya kira mutlak harus dibekukan atau dihapus oleh Presiden Prabowo untuk membasmikan itu,” ujar Aris kepada NU Online, Selasa (11/11/2025).
Menurutnya, tanggung jawab juga harus dibebankan pada perusahaan penyedia layanan digital, termasuk pengembang game dan platform media sosial yang memproduksi konten bermuatan kekerasan atau radikalisme.
“Perusahaan atau penyedia layanan elektronik, aplikasi game, atau media sosial yang memproduksi konten berbau kekerasan atau radikalisme harus mendapatkan sanksi atau hukuman,” tegasnya.
Di sisi lain, Aris menilai anak-anak tetap memiliki hak untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber, termasuk digital. Karena itu, literasi digital menjadi kunci agar anak memiliki kontrol dan kesadaran dalam memilah konten yang positif dan aman.
“Anak punya hak atas aktivitas mereka, anak harus paham mana dunia digital mana yang boleh diakses, mana yang tidak, mana yang positif, mana yang negatif,” tuturnya.
Aris juga menyoroti pentingnya pendekatan holistik untuk mencegah masuknya paham radikal di lingkungan sekolah. Kerja sama antara sekolah dan keluarga diperlukan untuk deteksi dini perubahan perilaku anak.
“Bagaimana menginternalisasi kurikulum untuk memunculkan karakter-karakter toleransi, peduli, empati, dan menghormati perbedaan kesetaraan gender? Internalisasi ini bisa melalui strategi intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, dengan melibatkan keluarga dalam pembinaan karakter,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta, yang melibatkan seorang siswa sebagai pelaku, harus menjadi peringatan keras betapa paparan ideologi ekstrem di dunia digital dapat berdampak nyata.
Aris menjelaskan bahwa hasil pemantauan KPAI menunjukkan, pelaku mengalami perubahan perilaku drastis dan sering mengakses konten bernada radikal di media sosial sebelum peristiwa terjadi.
Aris menilai algoritma media sosial memperkuat bias dan mendorong perilaku intoleran, terutama pada anak dan remaja yang belum memiliki kemampuan literasi digital memadai.
Fenomena digital grooming ideologis menjadikan perekrutan ideologi ekstrem melalui interaksi daring yang kini menjadi ancaman serius bagi ekosistem pendidikan.
“Setiap anak, baik pelaku maupun korban, berhak mendapatkan perlindungan, bimbingan, dan kesempatan untuk pulih. Kekerasan dan paham ekstremisme bukan hanya masalah individu, tetapi cermin dari ekosistem pendidikan yang perlu diperkuat secara menyeluruh,” pungkasnya.