Nasional

KPAI Sebut Ada 1.801 Pengaduan terkait Pemenuhan Hak Anak pada Januari-November 2024

Selasa, 31 Desember 2024 | 17:15 WIB

KPAI Sebut Ada 1.801 Pengaduan terkait Pemenuhan Hak Anak pada Januari-November 2024

Ilustrasi (Freepik)

Jakarta, NU Online
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kluster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya, dan Agama, Aris Adi Leksono menjabarkan data pengaduan yang masuk ke KPAI selama bulan Januari hingga November 2024 sebanyak 1.801 kasus.

 

Hal tersebut ia sampaikan dalam acara webinar Refleksi Akhir Tahun Pendidikan Keragaman dan Hak Asasi Manusia: Stop Kekerasan, Masa Depan Perlindungan Guru dan Murid pada Senin (30/12/2024).

 

Ia mengatakan 1.801 kasus itu bersumber dari kasus pemenuhan hak anak sebanyak 1.201 kasus atau 66,6 persen dan kasus perlindungan khusus anak sebanyak 600 kasus atau 33,4 persen.

 

"Apakah kemudian ini terpisah? Tentu tidak, ada korelasi terhadap situasi saat ini. Ketika pemenuhan hak anak itu banyak masalah, banyak kasus, tentu akan berimplikasi terhadap perlindungan khusus juga akan naik kasusnya,” ujar Aris.

 

Aris menyampaikan contoh hubungan kasus pemenuhan hak anak dan kasus perlindungan khusus anak di lingkungan pendidikan. Menurutnya, jika di lingkungan pendidikan masih ada diskriminasi, seperti dalam lingkup agama atau kemampuan ekonomi keluarga masih tinggi, akan berpotensi anak menjadi korban ataupun pelaku kekerasan.

 

"Angka yang mengadu ke KPAI ini, angka yang mengalami hambatan proses keadilan di tingkat bawah, sehingga dia (korban) sampai mengadu agar KPAI hadir memastikan keadilan itu didapatkan, misalkan anak korban kekerasan, anak korban bullying, perundungan, anak korban diskriminasi,” ujarnya.

 

Aris menjabarkan 10 kasus tertinggi pada pemenuhan hak anak yaitu anak korban pelarangan akses bertemu orang tua sebanyak 197 kasus, anak korban pemenuhan hak nafkah sebanyak 149 kasus, anak korban pengasuhan bermasalah atau konflik orang tua atau keluarga sebanyak 114 kasus, anak korban pengasuhan bermasalah sebanyak 93 kasus.

 

Ia menambahkan kasus anak korban perebutan hak kuasa asuh sebanyak 73 kasus, anak korban diskriminasi karena tunggakan pembayaran SPP sebanyak 51 kasus, anak korban perundungan di satuan pendidikan (tanpa LP) sebanyak 31 kasus, anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan sebanyak 23 kasus, anak sebagai korban kebijakan di lingkungan pendidikan sebanyak 16 kasus, dan anak korban kebijakan sekolah sebanyak 10 kasus.

 

"Yang tinggi kasus pengasuhan di lingkungan keluarga, ketika kasus pengasuhan itu tinggi ternyata berimplikasi terhadap rumah kedua anak di satuan pendidikan, mudah terpengaruh dengan hal yang negatif, ke sekolah untuk belajar ternyata disana terpengaruh temannya akhirnya melakukan kekerasan atau menjadi korban,” ucapnya.

 

Aris menjabarkan 10 kasus tertinggi pada perlindungan khusus anak yaitu kasus anak sebagai korban pencabulan sebanyak 95 kasus, anak sebagai korban penganiayaan sebanyak 66 kasus, anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan sebanyak 55 kasus, anak sebagai korban kekerasan psikis sebanyak 38 kasus, anak sebagai korban perlakuan salah dan penelantaran sebanyak 19 kasus.

 

Ia menambahkan kasus anak sebagai korban pembunuhan sebanyak 15 kasus, anak sebagai korban pencabulan sesama jenis sebanyak 14 kasus, anak korban kerusuhan atau konflik sosial sebanyak 12 kasus, anak sebagai pelaku kejahatan siber sebanyak 9 kasus, dan anak sebagai pelaku penganiayaan sebanyak 8 kasus.

 

"Ada PR (pekerjaan rumah) melindungi anak di ruang keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat, sekarang mereka di dunia maya juga mengalami tantangan atau ancaman yang luar biasa,” kata Aris.