Nasional

Kunci Keberhasilan NU: Tradisi Intelektual dan Keterbukaan Berfikir

Sabtu, 23 Maret 2019 | 18:10 WIB

Jakarta, NU Online

Tepat pada hari ini, 16 Rajab 1440 Hijriyah Nahdlatul Ulama telah berusia 96 tahun. Berbagai era telah dilalui oleh NU sebagai sebuah organisasi mulai era sebelum kemerdekaan, era kepemimpinan Soekarno, era Orde Baru, Reformasi hingga era Demokrasi saat ini. 

Sepanjang waktu tersebut sejumlah tantangan berhasil dilalui NU sebagai sebuah organisasi. Dalam sejarahnya NU memainkan peran yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang terjadi saat itu. NU Sekali waktu NU pernah menjadi gerakan pemikiran, gerakan ekonomi, pernah pula menjadi sebuah partai politik. Di waktu lain, NU juga pernah dengan gagah berani berhadapan dengan rejim Orde Baru yang militeristik.

Namun pada akhirnya, NU berhasil melewati tantangan-tantangan tersebut dengan baik, saat sebagian organisasi semasanya bergururan. Eksistensi NU hingga saat ini membuktikan ketangguhan dan kemahiran organisasi yang didirikan pada 16 Rajab 1344 Hijriyah dalam beradaptasi dan menjawab tantangan di zamannya.

Menteri Negara Riset dan Teknologi era Presiden Abdurrahman Wahid, Muhammad AS Hikam mengatakan bahwa keberhasilan NU tak lepas dari tradisi keterbukaan berfikir yang telah lama menjadi tradisi bagi kalangan NU. Keterbukaan tersebut lahir dari kuatnya tradisi intelektual sejak dari pesantren NU. 

“Saya kira karena tradisi intelektual NU yang sudah sangat lama itu telah sangat teruji dalam proses sejarah. NU juga memiliki kemampuan untuk melakukan konvergensi berbagai pemikiran dan metode, sehingga cenderung tidak monolitik dan tertutup bagi kritik,” kata AS Hikam pada NU Online Sabtu (23/3).

Dengan modal kebiasaan berpikir kritis dan terbuka yang dimilikinya, NU, lanjut AS Hikam, memiliki kemampuan untuk berfikir yang tidak hanya rasional namun juga imajinatif dan visioner yang terkadang tidak selalu sejalan dengan hukum positif. Namun justru dari situlah NU berhasilkan sintesa yang berhasil menyatukan kepentingan baik yang mendesak hingga yang futuristik.

Menariknya, tradisi ini tidak bersifat tertutup dari kelompok atau bahkan kritik dari luar NU. “Sebab seluruh paradigma berfikir, olah pemikiran, dan hasilnya semuanya bisa diakses oleh publik baik di kalangan umat Islam maupun di luarnya,” kata AS Hikam.

Dengan cara demikian NU masih tetap menjadi salah satu benteng paling kokoh dalam melestarikan dan mempertahankan nilai kebangsaan. Sebab segala persoalan kebangsaan ditelaah dan dicarikan jalan keluarnya secara terbuka dengan menggunakan hujjah (landasan pemikiran) yang solid. (Ahmad Rozali)


Terkait