Lembaga Perekonomian PBNU: Kenaikan Harga BBM Tak Boleh Seketika
Kamis, 25 Agustus 2022 | 20:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pemerintah telah memberikan sinyal keras atas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar.
Beban anggaran subsidi energi yang disebut mencapai Rp 502 triliun itu menjadi alasan utama kenaikan harga BBM yang tak terelakkan. Kendati demikian, langkah itu juga dianggap berisiko karena dapat menyebabkan meningkatnya inflasi yang akan membebani masyarakat dengan segala efek dominonya.
Merespons hal itu, Pengurus Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU), Amrullah Hakim, menilai pemerintah mesti berhati-hati merencanakan kenaikan harga BBM. Menurutnya, hal tersebut berdampak nyata pada kenaikan harga pangan.
“Kenaikan harga BBM itu tidak boleh seketika, harus gradual,” katanya kepada NU Online, Kamis (25/8/2022).
Kenaikan harga BBM, terang dia, memiliki dampak signifikan terhadap kenaikan harga pangan dan produksi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Hal ini karena adanya unsur BBM pada biaya produksi. Ia mencontohkan biaya transportasi telur bebek dari Brebes ke Jakarta bagi pedagang martabak.
“Harga telur bebek naik, harga martabak naik, pembeli martabak berkurang, penjual martabak hidupnya akan makin susah,” jelas Amrullah.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dilihat dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semester 1 tahun 2022, realisasinya berada dalam jalur positif.
“Jika kita amati, justru malah mengalami surplus, atau prosiklus. Penyebabnya adalah windfall (rezeki nomplok) karena kenaikan harga energi dan komoditas,” ungkapnya.
Hal itu, lanjut Amrullah, bisa dimanfaatkan untuk kontra siklus. “Karena kenaikan harga pangan berisiko memukul kelompok rentan, jatuh ke dalam kemiskinan. Prioritas kebijakan fiskal harus diberikan untuk membantu mereka yang rentan,” paparnya.
Ia juga menilai, windfall income mestinya digunakan untuk menambal subsidi BBM dan listrik. Sehingga, wacana kenaikan harga BBM bisa diminimalisasi dan dicarikan jalan keluar yang terbaik.
Ia mengumpamakan dengan adanya program perbaikan transportasi umum secara masif di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Malang, Medan, Balikpapan, Manado, Denpasar, Makassar, dan Jayapura.
“Masalah transportasi publik ini sangat mendesak. Jangan sampai seperti di Yogyakarta, yang cenderung meninggalkan kendaraan umum. Aneh, padahal itu kota kecil, kota pelajar, namun gagal dalam membangun kendaraan umum. Hal yang serupa terjadi di Bandung,” pungkasnya.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Fathoni Ahmad