Menurutnya, memang instrumen rapid test merupakan upaya dini karena selama ini pemerintah hanya memeriksa pasien dalam pengawasan (PDP). Artinya orang-orang yang dalam pemantauan jika tidak ada gejala, itu tidak diperiksa, berbeda dengan pasien yang diperiksa lewat laboratorium.
Sebab itu, lanjut Syahrizal, fungsi rapid test ialah mengurangi pengetesan untuk pasien yang negatif agar tidak menumpuk di dalam fasilitas kesehatan, baik puskemas maupun rumah sakit.
“Rapid test ini digunakan kepada orang dalam pemantauan (ODP), kita tahu bahwa ODP itu tidak ada gejala klinis, di sini letak kekurangan dari rapid test,” ujar Syahrizal kepada NU Online di Jakarta beberapa waktu lalu.
Pria yang juga Ketua PBNU Bidang Kesehatan ini menerangkan, kalau rapid test dilakukan kepada orang yang tidak mempunyai gejala, kalau itu hasilnya positif, itu tidak apa-apa. Nanti itu bisa dikonfirmasi oleh Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RTPCR) atau tes PCR.
Tapi kalau hasilnya negatif, kata Syahrizal, itu karena rapid test ini memeriksa antibodi, IGG, dan IGM. itu bisa dilakukan jika ada gejala klinis 7 sampai 10 hari.
“Artinya, jika orang yang di-rapid test itu negatif, mestinya harus diulang lagi pada hari ketujuh dan kesepuluh,” ungkapnya.
Jadi menurut Syahrizal, keuntungan rapid test yang diterapkan kepada ODP tidak banyak sebetulnya, karena kalau ODP tak perlu di-rapid test, pasti muncul gejala di hari ketujuh dan kesepuluh kalau memang dia positif.
“Rapid test yang digunakan untuk menemukan kasus lebih dini tidak begitu tercapai, tapi itu oke untuk menentukan status ODP di hari ketujuh dan kesepuluh,” ucap pria yang pernah menjadi Tim Pakar Nasional kajian virus SARS di China pada 2003 ini.
Pertanyaan mengenai perbedaan rapid test dan tes PCR memang terus bermunculan, terutama setelah pemerintahan Presiden Joko Widodo berencana melakukan pemeriksaan massal rapid test untuk mendeteksi kasus virus corona di dalam negeri.
Dalam rapat terbatas melalui telekonferensi pada 19 Maret lalu, Jokowi menginstruksikan agar segera dilaksanakan rapid test corona massal di Indonesia agar bisa mendeteksi dini indikasi awal seseorang terpapar Covid-19.
Supaya rapid test Covid-19 berjalan lancar, Jokowi meminta Kementerian Kesehatan agar segera memperbanyak alat dan tempat tes. Tak hanya Kemenkes, Jokowi juga meminta rumah sakit pemerintah, BUMN, TNI-Polri, hingga swasta turun tangan demi kelancaran rapid test massal.
Jokowi menyatakan pelaksanaan rapid test sudah dimulai sejak 20 Maret lalu, terutama di wilayah paling rawan termasuk DKI Jakarta.
Cara rapid test adalah dengan mendatangi rumah warga yang terindikasi melakukan kontak dengan pasien positif, untuk kemudian dilaksanakan tes corona.
Meski begitu, hasil rapid test ternyata tak bisa disimpulkan untuk mengonfirmasi kasus positif atau negatif corona karena hasil rapid test masih perlu pembuktian laboratorium melalui tes PCR.
Sejauh ini WHO menilai tes PCR merupakan standar utama. Ia menegaskan bahkan WHO tidak pernah memasukkan hasil pemeriksaan menggunakan rapid test ke dalam perhitungan kasus corona yang terkonfirmasi.
Beberapa negara seperti Malaysia, sejauh ini mengandalkan pemeriksaan tes PCR atau melalui pengambilan cairan saluran pernapasan (swab) yang dinilai lebih akurat untuk deteksi Covid-19.
Pewarta: Fathoni Ahmad