LF PBNU Terima 5 Akademisi Malaysia, Studi Banding Soal Hilal dan Waktu Subuh
Kamis, 30 November 2023 | 19:45 WIB
Pertemuan LF PBNU dengan akademisi dari Universitas Malaya, Malaysia, di Lantai 4 Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, pada Kamis (30/11/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) menerima kunjungan lima akademisi atau peneliti dari Universitas Malaya, Malaysia. Pertemuan ini digelar di Gedung PBNU Lantai 4, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Lima peneliti dari Universitas Malaya adalah Prof Mohd Saiful Anwar bin Mohd Nawawi, Raihana binti Abdul Wahab, Nazhatulshima binti Ahmad, Joko Satria, dan Mohammad Ridzuan bin Hashim. Mereka diterima langsung oleh Wakil Sekretaris LF PBNU Ma'rufin Sudibyo.
Pertemuan ini dilakukan dalam rangka melakukan penelitian dengan tema Respons Ahli Astronomi Islam Negara Anggota MABIMS terhadap Perubahan Fatwa Falak di Malaysia.
Prof Saiful Anwar menyampaikan bahwa kunjungan kali pertama ke PBNU dilakukan dalam rangka melakukan studi banding atas keputusan perihal hilal dan waktu Subuh Kerajaan Malaysia dan apa yang diputuskan NU melalui Muktamar Ke-34 di Lampung 2021 lalu dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) LF PBNU pada akhir tahun 2022.
"Kami ingin mendengar dan mengetahui lebih lanjut bagaimana sesuatu itu dirumuskan, bagaimana metode yang dikeluarkan NU dalam merumuskan hasil yang dicapai dalam Muktamar yang diadakan di Lampung tempo hari," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, PBNU memutuskan untuk menerapkan kriteria imkanurrukyah terbaru, yakni 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kemudian, LF PBNU juga menerapkan Qath'iyyurrukyah, yakni batasan minimal elongasi 9,9 derajat. Jika lebih dari itu, terlihat ataupun tidak hilal, maka sudah terhitung masuk bulan.
Ma'rufin menyampaikan bahwa pembahasan perihal Qath'iyyurrukyah sudah dibahas sebelum Muktamar. Meskipun hal tersebut baru diputuskan pada Muktamar Ke-34 NU tahun 2021 dan kriterianya ditetapkan pada Rakernas LF PBNU tahun 2022.
Waktu Subuh
Prof Saiful Anwar menyampaikan bahwa Kerajaan Malaysia menetapkan waktu Subuh di Malaysia ditetapkan saat matahari di ketinggian minus 18 derajat. Hal ini berbeda dengan NU yang memutuskan waktu Subuh berlangsung mulai matahari berada di ketinggian minus 20 derajat.
Merespons hal tersebut, Ma'rufin menyampaikan bahwa NU menghormati perbedaan yang ada, termasuk keputusan yang ditetapkan Malaysia. Meskipun demikian, Ma'rufin menjelaskan bahwa keputusan NU tersebut didasarkan atas data falakiyah dan akademisi yang sudah diuji secara ilmiah.
Lebih lanjut, Ma'rufin menyampaikan bahwa sebagaimana diketahui bahwa umat Islam mengenai istilah fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kedua inilah yang diyakini sebagai saat dimulainya waktu Subuh. Kemunculan keduanya diteliti secara komprehensif di lima tempat di Indonesia dengan mempertimbangkan seminimum mungkin polusi cahaya. Penelitiannya juga dilakukan di titik ketinggian 0 meter dengan langsung mengarah pada ufuk.
"Seluruh penelitian selama ini dilakukan di 0 meter. selama ini belum karena banyak pegunungan menghadap kota sehingga polusi udara besar," ujarnya.
Saat ditanya perihal keputusan itu bersifat final atau tidak, Ma'rufin menyampaikan bahwa LF PBNU masih terus melakukan penelitian-penelitian lanjutan. LF PBNU terus meriset pola-pola lain yang datanya diambil dari tempat-tempat berbeda mengingat Indonesia sangat luas.
Dalam hal ini, setidaknya LF PBNU sedang berupaya melihat pengaruh dari garis lintang dan garis bujur terhadap variasi fajar kadzib dan shadiq. Pun pengaruh ketinggian tempat terhadap hal tersebut mengingat selama ini baru dilakukan di titik 0 meter.